AKAD DAN WA’AD 
Dua konsep dasar dalam aturan perjanjian dalam Islam adalah wa’ad dan akad. Wa’ad adalah perjanjian satu pihak. Pengingkaran terhadap wa’ad tidak bisa dituntut. Sementara itu, akad adalah kontrak. Dalam akad, dua pihak saling berjanji sehingga ikatan terhadap persetujuan itu kuat. Karena wa’ad saja tidak kuat secara hukum, maka dalam perbankan syariah, wa’ad diubah menjadi wa’ad ala wa’ad (promise over promise). Dalam wa’ad ala wa’ad, terdapat dua pasal janji. Pasal pertama berhubungan dengan apa janji itu sendiri; pasal kedua berhubungan dengan apa konsekuensinya bila janji itu tidak dilakukan. 


MUSYARAKAH 
Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dan tenaga (pikiran) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung sesuai dengan kesepakatan. 

JENIS – JENIS MUSYARAKAH 
 Syirkah al- ‘Inan
Syirkah al-’Inan kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan satu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugain sebagaimana yang disepakati di antara mereka. Akan tetapi porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan idetik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis al- Musyarokah ini.

 Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al musyarokah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban hutang dibagi oleh masing-masing pihak. 

 Syirkah A’mal
Kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang arstek untuk menggarap sebuah proyek atau keja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Al musyarokah ini sering disebut musyarokah abdan atau sanaa’i 

 Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh yaitu dua orang “ terhormat”/ mempunyai reputasi yang berserikat –tanpa adanya modal- untuk membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. 


MUDHARABAH 
Kerjasama antara dua pihak untuk melakukan usaha bersama dimana pihak pertama menyerahkan modal sepenuhnya kepada pihak kedua (Mudharib) untuk dikelola dan keuntungan yang didapatakan di bagi sesuai dengan kesepakatan. “Dan orang-orang berjalan di muka bumi mencari karunia Allah" ( Q.S. : Al-Muzammil : 20 ) 

JENIS – JENIS MUDHARABAH 
 Mudharabah Muthlaqah.
Pemilik modal tidak menentukan syarat terhadap modal yang dikelolanya oleh pengelola modal (jenis usaha,waktu dan daerah usaha). 

 Mudharabah Muqayyadah.
Pemilik modal menetukan syarat terhadap modal yang dikelolanya oleh pengelola modal (jenis usaha, waktu dan daerah usaha) (abu Hanifah dan Ahmad, sedangkan imam maliki dan syafi’i tidak membolehkan mudharabah jenis ini. 


MURABAHAH
Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank Syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. 

DALIL AL Quran
”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS (2):275). 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”. QS. An Nisaa’ (4) : 29 

Hadist 
“Pedagang yang jujur dan terpercaya, maka dia bersama nabi, orang-orang yang jujur dan para syuhada”. (HR. Tarmidzi) “

Dari Suhaib ArRumi r.a bahwa Rasulullah bersabda, “tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” 


WAKALAH
Wakalah dalam praktek perbankan syariah dilakukan apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang. Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak, di mana pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama. 

Ada beberapa jenis wakalah, antara lain: 
 Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan. 
 Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu. 
 Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada al mutlaqah. 

Dalam aplikasinya pada perbankan Syariah, Wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain. 


HAWALAH 
Hawalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da'in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal 'alaih) Menurut mazhab Hanafi ada dua jenis hawalah, yaitu: 

 Hawalah mutlaqah: 
Seseorang memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan utang yang ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain selain Hanafi, kalau muhal 'alaih tidak punya utang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridaan tiga pihak (da'in, madin dan muhal 'alaih) 

 Hawalah Muqayyadah: 
Seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama. 

Ketiga mazhab selain mazhab Hanafi hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan mensyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal 'alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Kalau sudah sama jenis dan jumlahnya maka sahlah hawalah. Kalau berbeda salah satunya, maka hawalah tidak sah. Di pasar keuangan konvensional praktek hawalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (factoring). Namun sebagaimana diuraikan di atas, kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan utang/piutang tersebut. 


KAFALAH
Istilah kafalah menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah nyawa, utang atau barang. Meskipun demikian penjamin yang ikut bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang (penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan/pembayaran utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berutang. Ulama sepakat tentang bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah masyarakat, dan agar yang berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang berutang. Dalam lembaga keuangan, akad ini terlihat dalam penerbitan garansi bank (bank guarantee). 

Ada tiga jenis kafalah, yaitu: 
 Kafalah bin nafs, yaitu jaminan dari diri si penjamin (personal guarantee); 

 Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran utang atau pelunasan utang. Aplikasinya dalam perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advance payment bond) atau jaminan pembayaran (payment bond). 

 Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan modern hal ini diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek (performance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds). 


JU'ALAH 
Ju'alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah, seperti Referensi Bank, Informasi Usaha dan sebagainya. Prinsip ini juga digunakan oleh Bank Indonesia dalam Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). 


IJARAH (SEWA)
Ijârah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Ijârah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam rangka memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan, dan lain-lain. Secara etimoligi dapat berarti ba’i manfaah () yang berarti pemilikan atas manfaat.

Firman Allah SWT :
 ...وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَاآتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ، وَاتَّقُوا اللهَ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ. 
“…Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”  QS. Al-Bâqarah: 233

Ijarah Muntahiyah bi Tamlik
Kontrak atas manfaat suatu barang dengan nilai tukar tententu. Penyewa diberikan pilihan (options) untuk memiliki barang yang disewakan. Pemberi sewa (bank) berjanji (wa’ad) kepada penyewa untuk memindahkan kepemilikan objek setelah masa sewa berakhir. 


RAHN (GADAI )
Rahn menurut Syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan untuk ditarik kembali. Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan Syariah sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang semuanya atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan utang sebagai gantinya. Rahn adalah satu jenis transaksi tabaru', karena apa yang diberikan Rahin (pemilik barang) untuk murtahin (pemegang barang) bukan atas imbalan akan sesuatu, ia termasuk transaksi (uqud) 'ainiyah, di mana tidak dianggap sempurna secuali bila sudah diterima 'ain al ma'qud. Dan akad (transaksi) jenis ini ada lima, yaitu hibah, i'arah, ida', qard dan rahn. Tabaru' itu tidak sempurna kecuali dengan qard. 

Dalam teknis perbankan, akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada pembiayaan yang berisiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri untuk melayani kebutuhan nasabah guna keperluan yang bersifat jasa dan konsumtif, seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Bank atau lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut. 


QARDH 
Qardh artinya memberikan harta untuk dimanfaatkan dan akan diganti. Hukum qardh adalah masyru’ (disyariatkan) sebagaimana ditunjukkan oleh keumuman ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkan tentang keutamaan tolong-menolong, memenuhi hajat atau kebutuhan seorang muslim, menghilangkan derita yang menimpanya dan menutupi kefakirannya. Kaum muslimin juga sepakat tentang kebolehannya. 

Disebutkan dalam hadits berikut:
Dari Abu Rafi', bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah meminjam unta muda kepada seorang laki-laki, ketika unta sedekah tiba, maka beliau pun memerintahkan Abu Rafi' untuk membayar unta muda yang dipinjamnya kepada laki-laki tersebut. Lalu Abu Rafi' kembali kepada Beliau sambil berkata, "Aku tidak mendapatkan unta muda kecuali unta yang sudah dewasa." Beliau bersabda, "Berikanlah kepadanya, sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutang." (HR. Muslim)

Dari Ibnu Mas'ud berkata, "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada orang lain dua kali, kecuali seperti sedekahnya yang pertama." (Hadits hasan HR. Ibnu Majah, lihat Al Irwaa’ 5/226) 

WADIAH 
Wadi'ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan pada yang bukan pemiliknya untuk dijaga. Barang yang dititipkan disebut ida', yang menitipkan disebut mudi' dan yang menerima titipan disebut wadi'. Dengan demikian maka pengertian istilah wadi'ah adalah akad antara pemilik barang (mudi') dengan penerima titipan (wadi') untuk menjaga harta/modal (ida') dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta.

Ada dua tipe wadi'ah, yaitu wadi'ah yad amanah dan wadi'ah yad dhamanah.
a). Wadi'ah Yad Amanah
Wadi'ah yad amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi'ah yad dhamanah. 

Di bawah prinsip yad amanah ini aset titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan aset tersebut tidak boleh dipergunakan dan custodian tidak berhak untuk memanfaatkan aset titipan tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi'ah yad amanah akan berubah menjadi wadi'ah yad dhamanah apabila terjadi salah satu dari dua hal ini: 
(1)  harta dalam titipan telah dicampur,
(2) custodian menggunakan harta titipan. Penerapannya dalam perbankan dapat dilihat, misalnya dalam pelayanan jasa penitipan surat-surat berharga (custodian). 

b). Wadi'ah Yad Dhamanah
Wadi'ah Yad Dhamanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. 

Dengan prinsip ini, custodian menerima simpanan harta dari pemiliknya yang memerlukan jasa penitipan, dan penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-waktu. Di bawah prinsip ini harta titipan tidak harus dipisahkan dan dapat di-gunakan dalam perdagangan, dan custodian berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan dalam perdagangan. 

Jadi, custodian memperoleh izin dari pemilik harta untuk menggunakannya dalam perniagaan selama harta tersebut berada di tangannya. Penyimpan sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau seluruh harta yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan penerimaan kembali atas simpanan mereka. Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan harta tersebut selama dalam status simpanan adalah menjadi hak custodian. Tetapi custodian diperbolehkan memberikan bonus kepada pemilik harta atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian. 

Dalilnya adalah Surah an-Nisa’: 58 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat(titipan), kepada yang berhak menerimanya”. 

Surah al-Baqarah: 283 “… jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”

Read More..