CONTOH PROPOSAL USAHA

Proposal usaha merupakan bentuk permohonan baik berupa gagasan atau pemikiran kepada pihak lain untuk mendapatkan dana, pinjaman, persetujuan kerja sama, dan lain sebagainya. Berikut ini akan disajikan contoh proposal usaha warnet. 


CONTOH PROPOSAL USAHA WARNET
1. Pendahuluan 
Uraikan latar belakang dan tujuan bisnis warnet yang akan didirikan. 

2. Profil Perusahaan 
- Jenis Usaha 
Jelaskan secara rinci tentang usaha warnet anda, termasuk apakah bisnis anda sudah berbentuk badan usaha yang telah didaftarkan pada notaris. 

 - Nama Usaha Warnet 
Buatlah nama yang sederhana, menarik, dan mudah diingat. 

- Lokasi 
Pastikan bahwa lokasi bisnis anda di daerah strategis, sehingga calan investor dapat yakin untuk menanamkan modalnya di bisnis anda. 

3. Struktur Organisasi 
Jelaskan struktur organisasi dalam bisnis anda, mencakup pemilik dan karyawan 

4. Produk 
- Jenis Produk 
Dalam bisnis warnet, produk yang dijual adalah jasa pelayanan internet. Oleh karena itu, uraikan kegunaan dan manfaat dari jasa pelayanan anda kepada konsumen. Produk warnet tidak hanya sebatas jasa internet, tetapi juga berbagai perangkat atau perlengkapan warnet, seperti komputer, baik perangkat keas maupun perangkat lunak apa saja yang dipakai. Uraikan secara rinci hal-hal tersebut sehingga calon investor mengetahui dengan jelas bisnis anda. 

- Keunggulan 
Bisnis warnet yang akan anda bangun bukanlah satu-satunya bisnis warnet di Indonesia. Jadi, untuk menghadapi persaingan yang sangat ketat, bisnis warnet anda harus memiliki kelebihan dibandingkan warnet lain. Hal ini pula yang akan menjadi pertimbangan calon investor dalam menentukan kebijakan investasinya.

Keunggulan bisa dilihat dari segi pelayanan atau dari segi produk. Keunggulan dari segi pelayanan, misalnya pelanggan mendapatkan gratis snack setelah menggunakan internet dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan, dari segi produk, misalnya komputer anda sudah dilengkapi dengan hardware atau software pendukung yang canggih. 

5. Pemasaran 
- Target Konsumen 
Jelaskan siapa saja yang menjadi target konsumen dari bisnis warnet anda. Umumnya target pasar paling besar dari bisnis warnet adalah pelajar. 

- Strategi Promosi Salah satu hal penting dalam proposal bisnis warnet adalah tentang strategi promosi. Promosi dapat dilakukan melalui brosur, event tertentu, atau promosi lewat dunia maya. 

6. Laporan Keuangan 
- Modal 
Buatlah perhitungan tentang alokasi dana yang dibutuhkan untuk modal sehingga calon investor tahu dan bisa mengestimasikan seberapa besar jumlah dana yang akan diinvestasikan di bisnis warnet anda. 

- Neraca Laba/ Keuntungan 
Berisi penjelasan dan perhitungan singkat tentang perkiraan pemasukan, pengeluaran, dan berapa keuntungan yang akan didapat. 

- Bagi Hasil 
Tawarkan tentang perhitungan bagi hasil antara anda sebagai pengelola warnet dengan calon investor, misalnya dari keuntungan yang ada porsi anda 70% dan investor 30%. Hal ini dapat berubah sesuai kesepakatan bersama kedua belah pihak. 



Sumber : Disampaikan oleh Dr. Cut Fadhlan, SH, MM dalam Pelatihan Kewirausahaan di Kementrian Koperasi dan UKM (Maret 2012)

Read More..

BUSINESS PLAN (PERENCANAAN BISNIS)

Dalam menghadapi dunia bisnis yang diliputi oleh persaingan yang sangat ketat, maka calon pengusaha seharusnya memiliki business plan. Business plan menjadi penting bagi pengusaha, karena dapat menjadi petunjuk arah bisnis yang dijalankan. Untuk lebih jelasnya, lihat penjelasan di bawah ini. Semoga bermanfaat ^_^


A. DEFINISI BUSINESS PLAN 
Business plan adalah dokumen tertulis yang disiapkan oleh wirausaha untuk menggambarkan semua unsur yang relevan ( unsur yang terkait) dengan usaha yang akan atau sedang dijalankan, menyangkut pemasaran, permodalan, operasional, sumber daya manusia, dan lain-lain. 

B. CARA MEMBUAT BUSINESS PLAN SEDERHANA
Langkah-langkah untuk menyusun business plan yang sederhana adalah sebagai berikut : 

1. Membuat Latar Belakang 
Buatlah latar belakang pendirian usaha yang akan atau sedang dijalankan, mencakup keadaan persaingan, fasilitas yang dimiliki, dan prospek usaha di masa yang akan datang. 

2. Identitas Pemilik 
Jelaskan nama pemilik, tempat dan tanggal lahir, alamat rumah serta telepon. Jenis kelamin, status perkawinan, dan pendidikan terakhir.

3. Data Perusahaan 
Sebutkan nama perusahaan, alamat kantor, Nomor telepon, Bidang usaha. Bentuk badan usaha, Bank. Dan susunan organisasi. 

4. Aspek Produksi 
Jelaskan jumlah mesin yang digunakan, kapasistas produksi, jumlah rata-rata produksi per bulan, dan sumber bahan baku. Jika untuk pertokoan maka jelaskan jenis barang yang dijual, sumber barang, dan cara pembelian. 

5. Aspek Pemasaran 
Ungkapkan sistem distribusi, sistem pembayaran dan pembeli, sasaran konsumen, wilayah pemasaran, penguasaan pasar, segmentasi pasar, keuntungan rata-rata dari penjualan. 

6. Aspek Keuangan 
Rincikan kebutuhan uang rata-rata per bulan untuk bahan baku, upah/gaji, biaya umum, ATK, bunga, pajak, dll. Jika usaha baru cantumkan modal investasi untuk bangunan atau sewa tempat. Sedangkan, untuk keperluan modal kerja dijelaskan berdasarkan kebutuhan modal tiap minggu atau tiap bulan. Selain itu, untuk usaha yang sudah berjalan, lampirkan pula neraca yang menggambarkan rincian jumlah aktiva dan passivanya. Jelaskan pula laporan laba rugi dengan mencantumkan jumlah hasil penjualan, harga pembelian, biaya-biaya yang dikeluarkan, pajak, dsb. 

Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian calon wirausaha adalah: 
1. Banyak jenis usaha yang bisa dilakukan (Analisis menggunakan Analisis SWOT) 
2. Satukan visi dan misi 
3. Buatlah ciri khas dari usaha yang akan dijalankan 
4. Memiliki izin usaha 
5. Buatlah perjanjian secara tertulis (terkait kontrak) 
6. Gali informasi sebanyak-banyaknya terkait usaha yang akan atau sedang dijalankan 
7. Ikuti pelatihan-pelatihan 
8. Lakukan strategi pemasaran yang efektif dan efisien 
9. Usahakan agar usaha yang dijalankan dibutuhkan oleh semua orang, semua jenis kelamin, semua usia, semua kalangan, dan tidak terikat dengan hari, bulan, dan tahun, tertentu. 

C. FORMAT LENGKAP BUSINESS PLAN 
I Pendahuluan 
- Nama dan alamat perusahaan 
- Nama dan alamat pemilik 
- Nama dan alamat penanggung jawab yang bisa dihubungi sewaktu-waktu 

II Rangkuman Eksekutif 
Tidak lebih dari tiga halaman, menjelaskan secara lengkap isi business plan 

III Visi Dan Misi 
- Visi pemilik terhadap perusahaan 
- Bergerak di bidang apa perusahaan ini 
- Nilai-nilai dan prinsip apa yang dianut perusahaan 
- Apa yang membuat perusahaan anda unik 
- Apa sumber keunggulan kompetitifnya 

IV Analisis Industri 
- Perspektif masa depan industri 
- Analisis persaingan 
- Segmentasi pasar yang dimasuki 
- Perkiraan-perkiraan tentang produk yang dihasilkan 

V Deskripsi Usaha 
- Produk yang dihasilkan 
- Jasa Pelayanan 
- Ruang lingkup bisnis 
- Personalia dan perlengkapan kantor 
- Latar belakang dan Identitas pengusaha 

VI Rencana Produksi 
- Pemilihan lokasi 
- Rencana tata letak (Layout) termasuk IMB, AMDAL, dll 
- Proses Produksi 
- Kedaan gedung dan perlengkapannya 
- Keadaan mesin dan perlengkapannya 
- Sumber-sumber bahan baku 

VII Rencana Pemasaran 
- Penetapan harga 
- Promosi yang akan dilakukan 

VIII Perencanaan Organisasi 
- Bentuk kepemilikan 
- Informasi tentang partner 
- Latar belakang anggota tim manajemen 

IX Risiko 
- Evaluasi tentang kelemahan bisnis 

X Perencanaan Keuangan 
- Sumber dan penggunaan modal 
- Laporan keuangan 

XI Apendix 
- Surat-surat
- Surat-surat kontrak dan dokumen perjanjian lainnya 
- Daftar harga dari pemasok barang 


Sumber : Disampaikan oleh Dr. Cut Fadhlan, SH, MM dalam Pelatihan Kewirausahaan di Kementrian Koperasi dan UKM (Maret 2012)

Read More..

PENGANTAR USHUL FIQH

A. PENGERTIAN FIQH 
Fiqh secara etimologi adalah pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan atau perbuatan. Seperti firman Allah, 
 فمالهؤلاءالقوم يكادون يفقهون حديثًا 

“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafiq) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun.” (QS An-Nisa:78)

dan sabda Rasulullah SAW
 من يردالله به خيرًايفقِّهْه في الدين

“Barang siapa dikehendaki Allah sebagai orang baik, Allah akan memahamkannya dalam persoalan agama”.

Sedangkan Fiqh secara terminologi adalah pengetahuan tentang hukuk-hukum syara’ yang mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (mendetail). Pembahasan ilmu fiqh ada dua, yaitu : 
1) Pengetahuan tentang hukum syara’ (wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh) mengenai perbuatan manusia yang praktis.
2) Dalil-dalil yang mendetail pada setiap permasalahan. 

Ushul merupakan bentuk jama’ dari kata ashl yang memiliki banyak arti, di antaranya sebagai berikut: 
1) dalil, 
2) kaidah kulliyah/komprehensif, 
3) lebih diunggulkan, 
4) salah satu rukun Qiyas, dan 
5) keyakinan. 

Ushul secara etimologi adalah dasar yang di atasnya dibangun sesuatu sedangkan secara terminolgi adalah dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh. Sedangkan, Ushul Fiqh adalah mengetahui dalil-dalil fiqh secara global, cara penetapan, dan hal ihwal orang yang menetapkan hukum-hukum berdasarkan dalil-dalilnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa fiqh merupakan sarana/alat untuk menggali hukum sedangkan ushul adalah cara/metode penggalian hukum. 

B. OBYEK PEMBAHASAN USHUL FIQH 
Ushul fiqh memiliki empat obyek pembahasan, yaitu: 
1. Hukum-hukum syara’ dan yang berkaitan dengannya (al-hakim dan mahkum fih/obyek hukum/perbuatak orang mukallaf, dan mahkum ‘alaih/subyek hukum/orang mukallaf); 
2. Sumber-sumber hukum syara’ dan dalilnya; 
3. Metode penggalian hukum dari sumber dan dalilnya; 
4. Ijtihad. 

C. MANFAAT MEMPELAJARI USHUL FIQH 
1. Memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar para mujtahid/orang yang berijtihad masa lalu dalam membentuk pendapat fiqhnya. 
2. Memperoleh kemampuan memahami ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an dan hadits kemudian mengistinbath/menggali hukum dari kedua sumber tersebut. 
3. Dengan mendalami Ushul Fiqh, seseorang akan mampu secara benar dan lebih baik melakukan studi komparatif sebab ushul Fiqh merupakan alat untuk melakukan perbandingan madzhab. 

D. HUKUM SYARA’ 
Hukum adalah menetapkan sesuatu pada sesuatu sedangkan syara’ adalah hal-hal yang ditetapkan Allah untuk hamba-hamba-Nya. Hukum syara’ adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa iqtidha’ (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan), atau wadh’i (sebab akibat). Hukum syara’ dibagi dua, yaitu: 

1. Hukum taklifi (tuntutan [melakukan atau meninggalkan] dan pilihan). 
Hukum tuntuan melakukan ada yang bersifat lazim /keharusan (wajib) dan ada yang bersifat tidak lazim (Sunnah) sedangkan tuntutan meninggalkan ada yang lazim (haram) dan ada yang tidak lazim (makruh) sedangkan hukum yang berdasarkan pilihan antara melakukan dan meninggalkan adalah mubah. 

2. Hukum wadh’i (kausalitas). 
Hukum wadh’i terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: sebab, syarat, dan mani’/penghalang.


WAJIB 
Wajib adalah perintah yang harus dikerjakan yang jika ditinggalkan berdosa. Wajib ini dibagi menjadi empat: 1) Ditinjau dari waktu dan masa pelaksanaannya, hukum wajib dibagi dua, yaitu: muthlak (tidak terikat waktu) seperti mengqadha’ puasa dan Muqayyad (terikat dengan waktu). Muqayyad ini dibagi dua, yaitu: muwassa’ (waktu yang disediakan lebid luas daripada pelaksanaannya) seperti shalat dan mudhayyaq (yang tersedia sama dengan pelaksanaannya) seperti puasa. 

2) Ditinjau dari tertentunya tuntutan dibagi dua, yaitu: mu’ayyan (kewajiban yang hanya mempunyai satu tuntutan) seperti membayar hutang atau memenuhi akad dan mukhayyar (kewajiban yang mempunyai dua atau tiga alternatif) seperti pembebasan tawanan perang atau menerima tebusan mereka). 

3) Ditinjau dari kadar/ukurannya dibagi dua, yaitu: muhaddad (terbatas) seperti pembagian harta warisan dan ghairu muhaddad (tidak terbatas) seperti ukuran waktu ruku’ dan sujud dalam shalat. 

4) Ditinjau dari segi pelaksanaannya, wajib dibagi dua, yaitu fardhu ‘ain/wajib ‘aini (kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang mukallaf sehingga jika ia meninggngal sebelum mengerjakannya, ia berdosa dan berhak disiksa) dan fardhu kifayah/wajib kafa’i (kewajiban yang hanya menuntut terwujudnya suatu pekerjaan dari sekelompok masyarakat. Sehingga jika pekerjaan tersebut telah dikerjakan oleh sebagian masyarakat, bebaslah yang lain dari kewajiban itu tanp menanggung dosa.

Ulama Ushul Fiqh membagi wajib ‘aini menjadi tiga bagian: 
1. Kewajiban yang berhubungan dengan harta seperti zakat, mengembalikan titipan. Kewajiban ini bisa digantikan oleh orang lain. 
2. Kewajiban dalam bentuk ibadah murni seperti shalat dan puasa. Kewajiban ini tidak bisa digantikan oleh orang lain selama masih hidup. 
3. Kewajiban ibadah fisik dan harta seperti haji. Kewajiban ini menurut mayoritas ulama bisa digantikan oleh orang lain dengan syarat ada udzur syar’i seperti sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. 

MANDUB/SUNNAH 
Mandub adalah suatu hukum yang jika dilakukan mendapatkan pahala tapi jika ditinggalkan tidak berdosa. Hukum sunnah ini dibagi menjadi tiga bagian: 

1. Sunnah Muakkadah 
Sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinu, tetapi beliau menjelasakan bahwa hal tersebut bukan fardhu/wajib yang harus dikerjakan seperti shalat witir. 

2. Sunnah Ghairu Muakkadah
Sunnah yang dikerjakan Rasulullah SAW tidak secara kontinyu seperti shalat empat rakaat sebelum dhuhur.

3. Sunnah Zaidah/Tambahan
Adat kebiasan Rasulullah SAW yang tidak ada hubungannya dengan tugas tabligh (penyampaian ajaran) dari Allah SWT atau penjelasan terhadap hukum syara’ seperti cara berpakaian, mencukur jenggot, dan sebagainya. 

HARAM 
Haram adalah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik ditetapkan dengan dalil yang qath’i (pasti) atau dzanni (praduga). Hukum haram ini dibagi menjadi dua bagian: 

1. Haram li dzatihi/karena unsurnya
Perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena bahaya tersebut terdapat dalam perbuatan itu sendiri seperti minum khamr, berzina, dan sebagainya. 

2. Haram li Ghairi Dzatihi/perbuatan yang diharamkan oleh syara’ dimana larangan tersebut bukan terletak pada perbuatannya tersebut, melainkan perbuatan tersebut dapat ditimbulkan haram li dzatihi seperti melihat aurat karena dapat menimbulkan perbuatan zina. 

MAKRUH 
Menurut mayoritas ulama, makruh adalah suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti (ghairu jazim) lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan atas haramnya perbuatan tersebut. Hukum makruh ini terbagi menjadi tiga: 

1. Makruh tahrim: larangan yang pasti yang didasarkan pada dalill dzanni (praduga) yang masih mengandung keraguan seperti memakai sutera bagi laki-laki. 

2. Makruh tahzih: suatu hukum yang jika dilakukan tidak mendapat dosa tapi jika ditinggalkan mendapat pahala. Makruh tanzih ini merupakan kebalikan dari hukum mandub. 

3. Tarkul aula/meninggalkan yang lebih baik: meninggalkan sesuatu yang selayaknya dilakukan sedangkan ia mempunyai kemampuan melakukannya. 


MUBAH 
Mubah adalah suatu hukum yang dimana Allah memberikan kebebasan kepada orang mukallaf untuk memilih antara mengrjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Menurut Abu Ishaq as-Syathiby dalam al-Muwafaqat mengenai hukum mubah adalah sebagai berikut: 

1. Mubah yang berfungsi mengantarkan seseorang sampai kepada suatu hal wajib yang dibebankan kepadanya. Mubah seperti ini hanya dianggap mubah dalam hal memilih makanan halal yang akan dimakan. Akan tetapi, seseorang tidak diberi kebebbasan untuk makan atau tidak karena meninggalkan sama sekali hal ini akan membahayakan dirinya. 

2. Sesuatu dianggap mubah jika dilakukan sekali-kali, tetapi haram jika dilakukan setiap waktu seperti bermain, bergurau, dan sebagainya. 

3. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana mencapai sesuatu yang mubah juga seperti membeli perabot rumah tangga untuk kesenangan. 


RUKHSHAH DAN AZIMAH 
Rukhshah adalah suatu hukum yang dikerjakan lantaran ada suatu sebab yang memperbolehkan untuk meninggalkan hukum asli. Sedangkan ‘azimah adalah hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada sesuatu yang menghalang-halanginya. Pada umumnya rukhshah adalah berpindah hukum dari keharusan menjadi boleh untuk dikerjakan, bahkan terkadang wajib yang berarti gugurlah hukum yang asali. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan adanya rukhshah banyak sekali, di antaranya: 

1. Dharurat, seperti orang yang dalam keadaan sangat lapar dan dikhawatirkan mengakibatkan kematian sedangkan makanan yang ada hanya bangkai maka ia iperbolehkan dan bahkan wajib memakannya walaupun hukum aslinya adalah haram. 

2. Untuk menghilangkan kesempitan dan masyaqqat/keberatan seperti melihat aurat perempuan bagi dokter untuk memerikasanya, tetapi harus ada mahrumnya. 

E. AL-HAKIM/AS-SYARI’ 
Al-Hakim/as-Syari’ hanyalah Allah Subhanallah Wa Ta’ala seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an: 

1. (إن الحكم إلالله (الأنعام 57
“... menetapkan (hukum itu) hanya hak Allah. ...” 

2. وان احكم بينكم بما أنزل الله (المائدة:(49 
“dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, ...” 

3. ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون (المائدة : 47) 
“... Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang fasik.” 
4. وما ينطق عن الهوى أن هوإلاوحي يوحى (النجم : 3-4) 
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” 


F. HUKUM SYARA’ 
Komponen-komponen hukum syara’: 
1. Pembagian hukum syara’: 
a. Hukum taklifi. 
b. Hukum wadh’i 

2. Sumber-sumber hukum syara’: 
1) Muttafaq ‘alaihi/ yang disepakati: 
a. Al-qur’an 
b. As-Suunah/al-Hadits 
c. Al-Ijma’ 
d. Al-Qiyas. 

2) Mukhtalaf fih/yang masih dipertentangkan: 
a. Istihsan. 
b. Fatwa-fawa Shahabat 
c. Istishhab 
d. Al-urf/adat istiadat 
e. Maslahah mursalah 
f. Sadd al-dari’ah 
g. Hukum syara’ umat terdahulu 

3. Mahkum ‘Alaih/subyek hukum/mukallaf 
4. Mahkum fih/obyek hukum/perbuatan mukallaf 
5. Tujuan Syara’ 
a. Tazkiyah an-nafs/penyucian jiwa 
b. Penegakan keadilan 
c. Maslahah: 
1. Dharuriyyat/kebutuhan primer 
2. Hajiyyat/kebutuhan sekunder 
3. Tahsiniyyat/kebutuhan tersier 

G. MAHKUM FIH/OBYEK HUKUM 
Mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf sebagai tepat menghubungkan dengan hukum syara’. Syarat-syarat mahkum fih adalah: 

1. Perbuatan itu diketahui secara sempurna oleh mukallaf sehingga suatu perintah dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, ayat-ayat al-Qur’an yang turun secara global, baru wajib setelah ada penjelasan dari Rasulullah SAW. 

2. Diketahui secara pasti oleh mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah, yaitu Allah SWT dan Rasul-Nya. 

3. Perbuatan yang diperintah atau dilarang harus dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Perbuatan yang tidak terjangkau karena adanya masyaqqat terbagi menjadi dua macam, yaitu Masyaqqat yang tidak dapat ditanggulangi dan mampu direalisasaikan. Masyaqqat ini harus dilaksanakan, bila dilanggar akan dikenakan sanksi hukuman seperti melawan nafsu dan syahwat, serta . Masyaqat yang tidak dapat ditanggulangi dan tidak mampu direalisasikan kecuali dengan mengerahkan segala kemampuan. Masyaqqat ini jika dilaksanakan secara kontinyu akan menimbulkan korban jiwa atau harta. Masyaqqat ini boleh dibebankan akan tetapi tidak secara kontinyu serta tidak diwajibkan kepada semua orang seperti berperang memperjuangkan agama Allah SWT. 

Macam-macam hak: 
1. Hak Allah SWT seperti sanksi terhadap peminum khamr. 
2. Hak adami/manusia seperti nafkah keluarga. 
3. Hak-hak yang terkandung hak Allah dan hak manusia, tetapi hak Allah lebih unggul seperti pencurian. 
4. Hak-hak yang terkandung hak Allah dan hak manusia, tetapi hak manusia lebih unggul seperti qishash. 

Macam-macam kemapuan/ahliyah: 
1. Kemampuan dibebankan kewajiban; konsekuensinya orangnya harus ada dan keadaan hidup. Sedangkan syaratnya memiliki akal sehat dan kewajibannya tetap berlangsung. 
2. Kemampuan melakukan kewajiban: konsekuensinya orangnya harus dalam keadaan sadar. Sedangkan syaratnya adalah diperbolehkan menggunakan hartanya oleh syara’. 

Penghalang Kemampuan: 
1. Alami: 
a. Gila 
b. Idiot 
c. Lupa 
d. Tidur 
e. Epilepsi. 

2. Tidak alami/karena perbuatan: 
a. Tidak sempurna akalnya 
b. Mabuk 
c. Bodoh 
d. Keliru 
e. Terpaksa 


I. MAHKUM ‘ALAIH 
Syarat-syarat orang yang layak dibebani kewajiban hukum: 
1. Mampu memahami dalil-dalil hukum, baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain, minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari al-Qur’an atau hadits Rasulullah. Adanya kemapuan memahami hukum taklifi itu disebabkan adanya akal yang sempurna. 

2. Mempunyai ahliyat ada’: kecakapan untuk bertindak secara huku atau memikul beban taklif. Denga adanya kecakapan tersebut, seseorang disebut mukallaf. Artinya, segala perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam dan ia diperintahkan untuk melakukan segala perintah dan menjauhi larangan. Kecakapan seperti ini dimiliki seseorang secara sempurna bilamana ia baligh, berakal, dan bebas sedangkan yang menjadi bagi kecakapan tersebut seperti dalam keadaan gila, lupa, terpaksa, dan sebagainya. 

J. TUJUAN SYARIAH (al-Anbiya’:107) 
1. Tazkiyah an-Nafs/Penyucian jiwa ; 
2. Iqamah al-‘Adl/ menegakkan keadilan (al-Hujurat:13); 
3. Maslahah (al-Baqarah:256): 
a. Dharuriyyat: 
1. Menjaga agama 
2. Menjaga jiwa 
3. Menjaga akal 
4. Menjaga harta 
5. Menjaga keturunan 
b. Hajiyyat 
c. Tahsinat Kamaliyyah

Read More..

Kaidah-Kaidah Fiqh

2.1 Definisi Kaidah Fiqh 
Al-qawaid bentuk jamak dari kata Qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Secara bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi. baik dalam arti yang kongkrit maupun yang abstrak, seperti kata qawaid al-bait, artinya fondasi rumah, qawaid al-din, artinya dasar-dasar agama, qawaid al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti qawaid ini digunakan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :

 وَإِذْ يرَفَعُ إِبْراَهِيْمَ القَواَعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْماَعِيْلُ 

Dan ingatlah ketika ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail”. (QS. Al-Baqarah : 127)

 فَأَتىَ اللهُ بُنْياَنَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِدِ

Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-fondasinya…. ” (QS. An-Nahl: 26).

Dari kedua ayat tersebut, bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi, dan tempat yang di atasnya berdiri bangunan . Al- Qawaid al-fiqhiyqh ( kaidah-kaidah fikih) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih . 

Sementara itu, Para Ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah fiqih secara istilah. Ada yang meluaskannya ada yang mempersempitnya. Akan tetapi, substansinya tetap sama. Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah Mendefinisikan kaidah dengan : 

مَجْمُوْعُ الأَحْكاَمْ المُتَشَابِهاَتِ الَّتِي تَرْجِعُ إِلىَ قِياَسٍ وَاحِدٍ يَجْمَعُهاَ 
“kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya” .

Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fiqih dengan:

 قَضِيَةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهاَ
“ketetapan yang kulli (menyeruruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”.

Imam Tajjuddin al-Subki (w.771H) mendefinisikan kaidah dengan :

 اَلْأَمْرُ الْكُلِّيْ الَّذِيْ يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ جُزْ ئِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌ يُفْهَمُ أَحْكَا مُهَا مِنْهَا 
“kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”. 

Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970H) dalam kitab al-asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :

مَعْرِفَةُ الْقَوَاعِدِ الَّتِي تُرَدُّإِلَيْهِ وَفَرَّعُوْا الأَحْكَام عَلَيْهَا 
“Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci daripadanya hukum” .

Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybah wa nazhair, mendefinisikan kaidah dengan:
حُكْمُ كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَي جُزْ ئِيَّاتِهِ 
“ Hukum kulli (menyeluruh,general) yang meliputi bagian-bagiannya” .

Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz ‘iyat nya (bagian-bagiannya). Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah: 
1. Kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya. Al-Qur’an ataupun Al-Hadis. 
2. Kaidah-kaidah fiqh, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqh dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumya di dalam nash. 

Oleh karena itu, baik kaidah-kaidah ushul fiqh maupun kaidah-kaidah fiqh bisa disebut sebagai metodologi hukum Islam, hanya saja kaidah-kaidah ushulul fiqh sering digunakan di dalam takhrij al-ahkam yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-Qur’an dan Al-Hadis). Sedangkan kaidah-kaidah fiqh sering digunakan di dalam tathbiq al-ahkam yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia. 

Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Jadi, dari semua uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah : 
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.    

2.2 Pola Hubungan dan Dasar Perumusan Kaidah Fiqh

Kaidah fiqh adalah bagian dari ilmu fiqh. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Qur’an, Al-Hadis, akidah dan akhlak . Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikiritisi oleh ulama dan diuji serta diukur dengan banyak ayat dan hadis, terutama tentang kesesuaian dan substansinya. Apabila kaidah fiqh tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Qur’an atau pun Al-Hadis yang bersifat dalil kulli (general) maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan. Oleh karena itu, menggunakan kaidah-kaidah fiqh yang sudah mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Qur’an dan Al-Hadis, setidaknya kepada semangat dan kearifan Al-Qur’an dan Al-Hadis juga. 

Dasar-dasar perumusan kaidah fiqh ini disebabkan karena para muhaqiqin telah mengembalikan segala masalah fiqh kepada kaidah-kaidah kulliyah. Tiap-tiap dari kaidah itu, menjadi dhabith dan pengumpul bagi banyak masalah . Kaidah-kaidah tersebut diterima segala pihak, diikhtibarkan dan dijadikan dalil untuk menetapkan masalah. Memahami kaidah-kaidah itu, menyebabkan kita merasa tertarik kepada masalah itu dan menjadi wasilah untuk menetapkan masalah-masalah itu di dalam zihin. 

2.3 Urgensi Kaidah Fiqh
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut : 
1. Dari sudut sumber, 
Kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan.
2. Dari segi istinbath al-ahkam, 
Kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.

Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya berkata bahwa nash-nash tasyrik telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang .

Karena cakupan dari  fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah. 

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya. 

2.4 Sejarah Pertumbuhan Kaidah fiqh
Sejarah perkembangan dan penyusunan kaidah fiqih diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu : 
1 Fase Pertumbuhan dan Pembentukan 
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Dalam fase sejarah hukum islam, Periode ini dapat dibagi menjadi tiga zaman, yaitu :  

a. Zaman Nabi muhammad SAW 

Berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah. 


Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

b. Zaman Sahabat 
Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka. 

c. Zaman Tabi’in dan Tabi’ tabi’in 

Berlangsung selama 250 tahun. Ulama-ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah sebagai berikut :

• Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182) 
Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah : ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal” Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apabila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris. 

•Imam Asy-Syafi’i, 
Pada fase kedua,  abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu ”Sesuatu yang dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa” 

•Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), 

Diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu : ”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan” 

2 Fase Perkembangan dan Kodifikasi
Dalam sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya. Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. 

3 Fase Kematangan dan Penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah “seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya” Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah : “seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin.   

2.5 Lima Kaidah Ushul Fiqih 
I. Kaidah Asasi Pertama 
اَلْأُمُوْرُ بِمَقاَصِدِهاَ 
Segala perkataan tergantung pada niat.

Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai pelaksanaannya.

 قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ أَوالْقَصْدُالْمُقَارِنُ لِلْفِعْلِ 
Di dalam sholat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud didalam hati dan wajib niat disertai takbirat al-ihram . 

Di kalangan mahzab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup, dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah. Dapat disimpulkan bahwa fungsi niat adalah : 
• Untuk membedakan antar ibadah dan adat kebiasaan. 
• Untuk membedakan kualitas perbuatan baik kebaikan maupun kejahatan. 
• Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.

Secara lebih mendalam lagi para fuqaha merinci masalah niat ini baik dalam ibadah mahdoh seperti thoharoh, wudhu, tayamum, mandi junub, sholat qhasar, sholat jama, sholat wajib, sholat sunnat, zakat, haji, saum atau pun didalah ibadah ghair mahdoh seperti pernikahan, thalaq, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa-menyewa, hutang piutang dan akad-akad lainnya. 

II. Kaidah Asasi Kedua
 الَيقِيْنُ لاَيُزَالُ بِاالشَّك 
Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan. 

Di dalam kaidah-kaidah fiqih banyak di bicarakan tentang hal yang berhubungan dengan keyakinan dan kerguan misalnya orang yang sudah yakin suci dari hadast kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk kehati-hatian yang lebih utama adalah memperbaharui wudhunya. Dari kaidah asasi tersebut kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya. 

 أ‌. الَيقِيْنُ لاَيُزَالُ بِالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ 
Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula 

Contohnya kita yakin sudah berwudhu tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal. 

 ب‌. أَنَّ ماَ ثَبَتَ بِيَقِنٍ لاَيُرْتَفَعُ إِلاَّبِيَقِيْنٍ 
Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi. 

Contohnya thowaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu dengan tujuh putaran kemudian dalam keadaan thowaf seseorang ragu apakah yang dilakukannya puteran ke enam atau kelima. Maka yang menyakinkan adalah jumlah kelima, karena putaran yang kelima adalah yang menyakinkan.

 ت‌. اَلأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِمَّةِ 
Hukum asal adalah bebasnya seorang dari tanggung jawab 

Contohnya anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai adanya waktu balig. Makan dan minum asalnya di bolehkan sampai adanya dalil yang melarang makan-makanan dam minum-minuman yang di haramkan.

 ث‌. الأَصْلُ بَقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَا كَانَ مَالَمْ يَكُنْ مَا يُغَيِّرُهُ 
Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal yang mengubahnya. 

Contohnya manusia bebas lagi dari tanggung jawab karna adanya kematian. Kewajiban suami istri hilang lagi karna ada talaq.

 ج‌. الأَصْلُ فِي الصِفَاتِ العَارِضَةِ العَدَمُ 
Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adah tidak ada . 

Contohnya apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib baarah yang dijual belikan, maka yang dianggap adalah perkataan sipenjual. Karena pada asalnya cacat itu tidak ada.

 ح‌. الأَصْلُ فِي كُلِّ حاَدِثٍ تَقْدِيْرُهُ بِأَقْرَبِ زَمَنِهِ 
Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya . 

Contohnya seorang wanita yang sedang mengandung ada yang memukul perutnya kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu meninggal. Maka meninggalnya si bayi tidak disandarkan kepada pemukulan yang terjadi kepada waktu yang telah lama tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat kepada kematiaannya.

 خ‌. الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِباَحَةُحَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَحْرِيْمِ 
hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya. 

Contohnya apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya maka hukumnya boleh dimakan. 

 د‌. الأَصْلُ فِي الكَلاَمِ الحَقِيْقَةُ 
Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti sebenarnya. 

Contohnya apabila seseorang berkata : “saya mau mewakakan harta saya kepada anak kiyai Ahmad maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu.

 ذ‌. لَا عِبْرَةَ بِالظَنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَا ءُهُ 
Tidak dianggap(diakui) persangkaan yang jelas salahnya. 

Contohnya apabila seorag debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor membayar lagi hutang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor maka waikil debitor berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya karena pembayaranya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas salahnya yaitu menyangka bahwa utang belum dibayar oleh debitor. 

III. Kaidah Asasi Ketiga
 المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ 
Kesulitan mendatangkan kemudahan.

Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukhalaf, maka syariah meringankannya. Sehingga mukhalaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran. Dari kaidah tersebut dimunculkan kaidah-kaidah lain seperti:

 أ‌. إِّذَا ضَاقَ الأَ مْرُ إِتَّسَعَ 
Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas. 

Contohnya boleh berbuka puasa pada bulan ramadhan karna sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.

 ب‌. إِذَاتَعَذّ رَ الأَصْلُ يُصاَ رُ إِلَى البَدَلِ 
Apabila yang asli suka dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya. 

Contohnya tayamum sebagai pengganti wudhu. 

ت‌. مَالاَيُمْكِنْ التَحْرُزْ مِنْهُ مَعْفُو عَنْهُ 
Apa yang tidak mungkin menjaganya atau menghindarkannya maka hal itu dimaafkan. 

Contohnya pada waktu sedang saum kita berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa. Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan, misalnya orang yang berpergian dengan tujuan melakukan maksiat. misalnya, membunuh maka orang semacam ini tidak boleh meggunakan keringanan di dalam hukum islam.

 ث‌. إِذَاتَعَذّ رَتْ الحَقِيْقَةُ يُصَارُ إلَى المَجَازِ 
Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya. 

Contohnya seseorang berkata saya wakafkan tanah saya ini kepada anak kiyai Ahmad. Padahal semua tahu bahwa anak kiayi tersebut sudah lama meninggal, maka yang ada hanyalah cucunya. maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya bukan kata sesungguhnya sebab tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah meninggal.

 ج‌. إِذَاتَعَذّ رَ إِعْمَالُ الكَلاَمِ يُهْمَلُ 
Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan maka perkataan tersebut ditinggalkan. 

Contohnya apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka, Perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya. 

 ح‌. يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَءِ 
Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya.

Contohnya orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewaannya dalam arti melanjutkan sewaannya maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.
 خ‌. يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَءِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ 
Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya 

Contohnya seseorang yang baru masuk islam minum-minuman keras karena kebiasaanya sebelum masuk islam dan tidak tahu bahwa minum-minuman tersebut dilarang. Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidak tahuannya. Selanjutnya setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram maka dia harus menghentikan perbuatan tersebut.

 د‌. يُغْتَفَرُ فِي التَوَابِعِ مَالاَ يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا 
Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada hal yang lainnya. 

Contohnya penjual boleh menjualkembali karung bekas tempat beras karana karunag mengikuti kepada beras yang dijual. 

IV. Kaidah Asasi Keempat
 الضَرَرُيُزَالُ 
Kemadharatan harus dihilangkan.  

Contohnya larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemadharatan bagi rakyat. Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah di atas diantaranya:

أ‌. الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المَخْظُورَاتِ 
kemadharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.

Contohnya boleh mengkap dan menghukum pelaku pornografi dan pornoaksi untuk menyelamatkan keturunan.

 ب‌. الضَرُوْرَاتُ تُقَدِّرُبِقَدَرِهَا 
Keadaan darurat, ukurannya ditentukan kadar kedaruratannya. 

Contohnya seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang diobatinya sekedar yang diperlukan untuk pengobatan, itu pun apabila tidak ada dokter wanita.

 ت‌. الضَرَرُيُزَالُ بِقَدَرِ الإِمْكَانِ 
Kemadharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan. 

Contohnya usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak kelaparan.

. ث‌. الضَرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَرَرِ 
Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan lagi. 

Contohnya orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan.
 ج‌. يُحْتَمَلُ الضَرَرُ الخَاصِ لِأَجْلِ الضَرَرِ العَامِ 
Kemadharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum.

Contohnya boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan umum, misalnya mempailitkan suatu perusahaan demi menyelamatkan para nasabah.

 ح‌. الضَرَرُ الأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَرَرِ الأَخَفُّ 
Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan.

Contohnya apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis dan ilmu yang berdasarkan agama kecuali di gaji, maka boleh menggajinya.

 خ‌. الحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَرُورَةِعَامَةً كَانَ أَوْ خَاصَةً 
Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus 

Contohnya dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi, demi untuk kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum berwujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada.

 د‌. كُلُّ رُخْصَةٍ أَبِيْحَتْ للضَرُورَةِوَالحَاجَةِ لَمْ تُسْتَبَحْ قَبْلَ وُجُودِهَا 
Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah. 

Contohnya memakan makanan yang haram, baru dilaksanakan setelah terjadinya kondisi darurat. Misalnya tidak ada makanan lain yang halal.

 ذ‌. كُلُّ تَصَرُّ فٍ جَرَّ فَسَادًا أَودَفْعَ صَلاَحًامَنهِي عَنْهُ 
Setiap tindakan yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang. 

Contohnya menghambur-hamburkan harta atau boros tanpa ada manfaatnya.

V. Kaidah Asasi Kelima
 العَادَةمُحَكَّمَةُ 
Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum 

Contohnya sebelum Nabi Muhammad di utus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia arab maupun di bagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan tersebut di bangun atas dasar nilai-nilai yang di anggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut. Diantara cabang dari kaidah ini adalah:

 أ‌. إِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا 
Apa yang di perbuat orang banyak adalah alasan/argumen yang wajib diamalkan. 

Contohnya menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menajhitkan adalah tukang jahit.

 ب‌. إِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ إذَااضْطَرَدَتْ أوْغَلَبَتْ 
Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum. 

Contohnya apabila seseorang berlangganan majalah, maka majalah itu diantar ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah, maka ia bisa komplain dan menuntut kepada agen majalah tersebut. 

 ت‌. العِبْرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّائِعِ لاَللِنَا دِرِ 
Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang terkenal oleh manusia bukan dengan jarang terjadi. 

Contohnya para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang tidak akan melebihi satu tahun.

 ث‌. المَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالمشْرُوْطِ شَرْطًا 
Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang di syaratkan suatu syarat. 

Contohnya apabila orang bergotong- royong membangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan orang-orang yang bergotong royong itu tidak di bayar. 

ج‌. المَعْرُوْفُ بَيْنَ التُّجَارِ كَالمشْرُوْطِ بَيْنَهُم 
Sesuatu yang tidak dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka.

 ح‌. التَعْيِينُ بِالمَعْرُوْفُ كَا التَعْيِينِ بِالنَّص 
Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash 

Contohnya apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut. Maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk kecuali dengan izin orang yang menyewakan.

 خ‌. المُمْتَنَعُ عَادَةًكَا المُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً 
Sesuatu yang tidak berlaku berdasarka adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan.

Contohnya seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain adalah miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan darimana asal harta tersebut.

 د‌. الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلالَةِ العَادَةِ 
Arti hakiki di tinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat. 

Contohnya yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan penerimaan barang oleh si pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi apabila si pembeli sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli itu telah terjadi. Dan penjual tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.

 ذ‌. الإِذَنُ العُرْفِى كَالإِذْنِ اللَفْطِى 
Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapaan.   

DAFTAR PUSTAKA 
A.Rahman, Asymuni. Qaidah-Qaidah Fiqh. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang. 1976. 
Abd Al-Wahab bin Ali bin Abd Al-kafi Al-Subki, Al-Imam Tajuddin. juz 1. Al-Asybah wa Al-Nazhair. Beirut: Dar Al-kutub al-Islamiyah. 
Abu Zahrah, Muhammad. Ushulul Fiqh.Dar Al-Fikir Al-Arabi. 
Al-Jurjuni. Kitab Al-Ta’rifat. Dar Al-kutub Al-ilmiyah. 1430 H/1983 M. 
Al-Nadw, Ali Ahmad. Al-Qawaid Al-Fiqhiyah. cet .V. Beirut: Dar al-Qalam.1420H/2000M. 
Al-Syirazi, Abu Ishak. al-Muhadzabah. juz 1. Dar el-Fikr. 
Hasbi Ash-shiddqy, Teungku Muhammad. Pengantar Hukum Islam. cet 1. Semarang: PT. Pustaka Rizki putra. 1997 M. 
Ibnu Nuzaim. Al-Asybah wa al-Nazhair. cet 1. Damaskus: Dar Al-fikr. 1430H/1983M. 
Jalaluddin Abd al-Rahman, Al-Suyuthi. a-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa furu’ Fiqh al-Syafi’i. cet 1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1399 H/1979 M. 
Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqh kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah praktis. Cet 1. Jakarta: Kencana. 2006. 
http://moenawar.multiply.com/journal/item/10 ( 28 Maret 2010)

Read More..