Syarat, Sifat, dan Prinsip Kepemimpinan

BAB I PENDAHULUAN 


1.1 LATAR BELAKANG 
Kepemimpinan dan manajemen tealah menjadi topik pembicaraan dan pembahasan sejak lebih dari 200 tahun yang lalu. Al Quran berbicara tnetang kepemimpinan. Allah berfirman “hai orang-oran gyan gberiman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya, dan ulul amri ()pemimpin, diantara kamu, kemudain jika kamu berlainan pendapattentang sesuatu, maka kembalikanlah ia lepada Allah (Al- Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari kemudian. yang demikina itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. 
Bahkan ketika Allah menciptakan Adam, Allah memakai istilah khalifah yang sangat erat hubungannya degan kepemimpinan. Dengan demikian, persoalan kepemimpinan telah ada sejak ada penciptaan manusia masih dalam rencana Allah swt. 
Nabi Muhammad secara jelas menyebutkan soal kepemimpinan dalam salah satu sabdanya “ setiap orang diantara kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. 

1.2 RUMUSAN MASALAH 
Makalah yang berjudul Prinsip, Sifat, Syarat, dan Tipe Kepemimpinan berisi beberapa rumusan masalah yang akan dijelaskan dalam pembahasan bab berikutnya. Rumusan masalah tersebut adalah : 
1. Apakah pengertian dari Kepemimpinan? 
2. Apakah prinsip, sifat, syarat dan tipe pemimpin itu? 
3. Bagaimanakah konsep kepemimpinan dalam perspektif islam?

1.3 TUJUAN 
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan, apakah arti dari kepemimpinan itu sebenarnya. Selain itu, dalam makalah ini juga akan menjelaskan tipe, syarat, sifat dan prinsip dari seorang pemimpin, baik dalam perspektif secara global maupun perspektif dalam islam.   


BAB II PEMBAHASAN 


2.1 DEFINISI KEPEMIMPINAN 
Definisi kepemimpinan, tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Karena banyak literature dan sudut pandang dalam mencari definisi kepemimpinan itu sendiri. Oleh karena itu, banyak para ahli yang mempunyai pandangan mengenai definisi kepemimpinan, diantaranya adalah: 
1. Menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) adalah kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Kepemimpinan menurut Young (dalam Kartono, 2003) lebih terarah dan terperinci dari definisi sebelumnya. Menurutnya kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus. 
2. Menurut Moejiono (2002) memandang bahwa kepemimpinan tersebut sebenarnya sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorist) cenderung memandang kepemimpinan sebagai pemaksaan atau pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin (Moejiono, 2002). 

2.2 TIPE-TIPE KEPEMIMPINAN 
Berdasarkan Sikap Pemimpin Terhadap Kekuasaan atau Organisasi 
• Climbers 
Tipe pemimpin yang selalu haus akan kekuasaan, prastige dan kemajuan diri, berusaha maju terus menerus dengan kekuasaan sendiri, oportunistis, agresif, suka dan mendorong perubahan dan perkembangan dan berusaha berombak terus menerus. 
• Conservers 
Tipe pemimpin yang mementingkan jaminan dan keenakan, mempertahankan status quo memperkuat posisi yang telah dicapai, menolak perubahan, defensifda statis. Tipe ini biasanya terdapat pada middle management atau dimiliki oleh parapejabat yang sudah lanjut usia. 
• Zealots 
Tipe pemimpin yang bersemangat untuk memperbaiki organisasi, mengutamakan tercapainya tujuan, mempunyai visi, menyendiri aktif, agresif, bersedia menghadapi segala permusuhan dan pertentangan, tegas, mempunyai dorongan yang keras untuk maju, tidak sabaran untuk mengadakan perbaikan dan menentukan sesuatu yang baru, mementingkan kepekaan daripada human relations. 
• Advocates 
Tipe pemimpin yang ingin mengadakanerbaikan organisasi, terutama bagiannya sendiri, mementingkan kepentingan keseluruhan organisasi daripada kepentingan diri sendiri, pejuang yang gigih dan bersemangat untuk kepentingan orang-orang dan programnya, bersedia menghadapi pertentangan apabila mendapat dukungan dari kolega-koleganya, sangat responsif terhadap ide-ide dan pengaruh orang lain, keluar bersedia mempertahankan kelompok dengan tindakan partisan, ke dalam bersikap jujur dan tidak menyebelah. 
• Statesmen 
Tipe pemimpin yang mementingkan tujuan organisasi secara keseluruhan dan misi organisasi, berusaha berdiri di atas kepentingan-kepentingan, tidak menyukai pertentangan yang merugikan pihak-pihak yang bersangkutan, berusaha mempertemukan pertentangan. Berdasarkan Kekuasaan 
• Autoraic leader 
Tipe pemimpin yang menggantungkan terutama pada kekuasaan formalnya, organisasi dipandang sebagai milik pribadi, mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, hak dan wewenang adalah milik pribadi. Leadership adalah hak pribadi, bawahan adalah alat, ia harus mengikuti saja, tidak memberi kesempatan kepada bawahan untuk ikut mengambil bagian dalam pengambilan keputusan, tidak mau menerima kritik, saran atau pendapat, tidak mau berunding dengan bawahan, keputusan diambil sendiri, memusatkan kekuasaan untuk mengambil keputusan, mempergunakan intimidasi, paksaan atau kekuatan dan mengagungkan diri. 
• Partcipative leader (pemimpin yang demokratis) 
Tipe pemimpin yang memandang manusia adalah manusia yang termulia, memimpin dengan persuasi dan memberikan contoh, memperhatikan perasaan pengikut, mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi pengikut, mengutamakan kepentingan organisasi dan kepentingan pengikut, senang menerima saran, pendapat atau kritik, menerima partisipasi informil dari kelompok, memanfatkan pendapat-pendapat kelompok, menunggu persetujuan kelompok, menunggu persetujuan kelompok, berunding dengan pengikut, mengutamakan kerja sama, mendesentralisasikan wewenang, memberikan kebebasan untuk bawahan untuk bertindak, menstimulir inisiatif, mendorong partisipasi pengikut dalam pengambilan keputusan, memberikan informasi yang luas kepada pengikut, membuat pengikut lebih sukses. 
• Free rein leader (pemimpin yang liberal) 
Tipe pemimpin yang menghindari kekuasaan, tergantung pada kelompok anggota, kelompok memotivasikan diri sendiri, hanya bertindak sebagai perantara dengan dunia luar untuk menyajikan informasi kepada kelompok, tidak berhasil memahami sumbangan management, tidak dapat memahami peranan motivasi yang diberikan dan melakukan pengendalian yang minimal. 
Berdasarkan Kepribadiannya : 
• Tipe ekonomis 
Tipe yang perhatiannya dicurahkan kepada segala sesuatu yang bermanfaat dan praktis. 
• Tipe aesthetis 
Tipe yang berpendapat bahwa nilai yang tertinggi terletak pada harmoni dan individualitas. 
• Tipe teoritis 
Tipe yang perhatian utamanya ialah menemukan kebenaran hanya untuk mencapai kebenaran, perbedaan dan rasionalitas. 
• Tipe social 
Tipe pecinta orang lain, tujuan akhirnya adalah orang lain. Berhubungan dengan sifatnya yang ramah tamah, simpatik, dan tidak mementingkan diri sendiri. 
• Tipe politis 
Tipe yang perhatian utamanya diarahkan kepada kekuasaan, menginginkan kekuasaan perseorangan, pengaruh dan reputasi.  
• Tipe religious 
Tipe yang berpendapat bahwa bahwa nilai yang tertinggi ialah pengalaman yang memberikan kepuasan tertinggi dalam kehidupan spritual dan bersifat mutlak 

2.3 SYARAT-SYARAT KEPEMIMPINAN 
• Problem Solver 
Seorang pemimpin dituntut mampu membuat keputusan penting dan mencari jalan keluar dari permasalahan. Seorang pemimpin ibarat nakhoda yang berkewajiban mengemudikan ‘kapal’ ke arah yang benar sehingga ia harus tegas dan bertanggung jawab. 
• Bersikap Positif 
Setiap orang tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu pemimpin tidak seharusnya mencerca pengikutmya tapi justru membangkitkan semangatnya dan memberikan kalimat positif sehingga ia dapat memperbaiki kesalahannya. 
• Komunikasi 
Seorang pemimpin perlu menerangkan sejelas mungkin tentang tujuan bersama yang hendak diraih dan strategi mencapainya. 
• Menjadi Inspirasi 
Seorang pemimpin harus bisa menerapkan standar dan jadi contoh bagi pengikutnya.. 
• Tumbuhkan Motivasi 
 Berikan penghargaan terhadap prestasi sekecil apa pun yang dilakukan bawahan. Bahkan karyawan yang paling telat sekalipun akan berusaha memperbaiki diri apabila anda memujinya ketika ia datang tepat waktu. • Hubungan Baik Seorang pemimpin harus bisa menjalin hubungan baik dengan siapa saja. Baik relasi yang sudah ia kenal, maupun relasi yang baru saja dibangun. Hal itu ditujukan agar, hubungan relasi dapat tetap terjaga dengan baik. 
 • Turun Gunung Anda tidak boleh merasa bebas dari kewajiban dan melakukan ‘dirty job’ atau pekerjaan anak buah. Seorang pemimpin akan dihargai anak buahnya apabila ia bersedia turun ke lapangan tak asal main perintah.

2.4 SYARAT KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM 
• Beriman dan beramal shaleh Kita harus memilih pemimpin orang yang beriman, bertaqwa, selalu menjalankan perintah Allah dan rasulnya. Karena ini merupakan jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram, dan bahagia dunia maupun akherat. Disamping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal soleh. 
• Berilmu Karena dengan ilmu ini maka akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam bentuk pembangunan fisik maupun spiritual, baik pemabanugnan infrastruktur maupun pembangunan manusianya itu sendiri. 
• Jujur Apa yang disampaikan kepada masyarakat tentunya harus dilaksanakan, dan apa yang dikatakannya harus sesuai hendakyan dengan perbuatannya. 
• Tegas Tegas bukan berarti otoriter, tapi tegas maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah serta melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan Allah, SWT dan rasulnya. 
• Amanah Melaksanakan aturan-turan yang ada dengan sebaik-baiknya dan bertanggungjawab terhadap peraturan yang telah dibuat Imam al-Mawardi menetapkan tujuh syarat bagi seorang khalifah atau pemimpin yaitu : 
1. Adil; 
2. Berilmu sampai taraf mujthaid 
3. Sehat jasmani 
4. Cerdas 
5. Memiliki kemampuan untuk memimpin 
6. Berani berkorban untuk mempertahankan kehormatan dan berjihad dengan musuh 
7. Keturunan Quraisy 
Ibnu Khaldun Menetapkan syarat Khalifah hanya empat yaitu : 
1. Berilmu sampai tahap mujtahid  
2. Adil 
3. Kifayah atau memilki kesanggupan bersiasah. 
4. sehat jasmani dan rohani. 
Abdul qodir Audah menetapkan syarat Khalifah delapan Syarat: 
1. Islam. 
Diharamkan mengangkat pemimpin seorang kafir (Surah ali Imran ayat 28) karena tidak mungkin kepala Negara yang kafir bisa melaksanakan hukum syari'at yang hal tersebut merupakan tugas khalifah. Dengan begitu diharamkan juga mengangkat orang kafir menjadi hakim, karena ditangan hakim kekuasaan hukum ditegakkan (An-Nisa' ayat 141). 
2. Pria. 
Wanita menurut tabiatnya tidak cakap untuk memimpin Negara, karena jabatan itu memerlukan kerja keras seperti meminpin tentara dan mengurus berbagai persoalan. 
3. Taklif 
Sudah dewasa, dimana jabatan khalifah adalah penguasaan atas orang lain. 
4. Ilmu Pengetahuan 
Ahli dalam hukum Islam sampai bila mungkin mencapai taraf mujtahid. Bahkan dituntut mengetahui Hukum internasional , Traktat dan perdagangan internasional Dll. 
5. Adil Menghiasi diri dengan sifat kemuliaan dan akhlakul karimah terhindar dari sifat fasik , Maksiat , keji dan munkar 
6. Kemampuan dan Kecakapan Mampu membimbing umat ke jalan yang benar yang dikehendaki syari'at. 
7. Sehat Jasmani dan rohani Khalifah tidak boleh buta, tuli, bisu dan cacat.
8. Keturunan Quraisy Dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang hal ini. 

2.5 SIFAT-SIFAT KEPEMIMPINAN 
• Integritas 
Melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikatakan sehingga menimbulkan kepercayaan dari orang lain . 
• Optimisme 
Melihat selalu ada harapan untuk masa depan yang lebih baik. 
• Menyukai perubahan 
Pemimpin adalah mereka yang melihat adanya kebutuhan akan perubahan, bahkan mereka bersedia untuk memicu perubahan itu. Sedangkan pengikut lebih suka untuk tinggal di tempat mereka sendiri. 
• Berani menghadapi resiko 
Keberanian untuk mengambil resiko adalah bagian dari pertumbuhan yang teramat penting.Kebanyak orang menghindari resiko. Karena itu, mereka bukan pemimpin. 
 • Ulet 
Para pemimpin itu tahu apa yang ada di balik tembok batu, dan mereka akan selalu berusaha menggapainya. Lalu mereka mengajak orang lain untuk terus berusaha. 
• Katalistis 
Seorang pemimpin adalah seseorang yang secara luar biasa mampu menggerakkan orang lain untuk melangkah. Mereka bisa mengajak orang lain keluar dari zone kenyamanan dan bergerak menuju tujuan mereka. 
• Berdedikasi 
Pengikut akan mengikuti pemimpin yang senantiasa bekerja dan berdedikasi karena mereka melihat betapa pentingnya pencapaian tugas-tugas dan tujuan. 
• Berkepribadian kuat 
Rasulullah Saw menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus kuat, tidak lemah. Orang lemah tidak pantas menjadi pemimpin. 
• Bertakwa 
Karena kekuatan kepribadian seorang pemimpin sangat berpengaruh pada kepemimpinannya, maka seorang pemimpin harus memiliki kualitas yang mampu menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh buruk. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memiliki sifat takwa pada dirinya, baik secara pribadi, maupun dalam hubungannya dengan tugas dan tanggung jawabnya memelihara urusan rakyat. 
• Belas kasih 
Ini diwujudkan secara konkrit dengan sikap lembut dan kebijaksanaannya yang tidak menyulitkan rakyatnya. • Jujur dan penuh perhatian 
Pemimpin haruslah jujur dan penuh perhatian dalam mengurus urusan rakyat sehingga rakyat bisa terpenuhi kebutuhan mereka dan menikmati layanan pemimpinnya. 
• Istiqomah memerintah dengan syariah 
Seorang pemimpin yang jujur memimpin kaum muslimin akan melaksanakan pemerintahannya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. 
Adapun sifat-sifat dasar dari kepemompinan dari Warren Bennis, yaitu: 
a. Visioner. 
Mempunyai ide yang jelas tentang apa yang didinginkan secara profesionala tau pribadi dan punya kekuatan untuk bertahan ketika mengalami kemunduran atau kegagalam 
b. Berkemauan kuat. 
Mencintai apa yang dikaerjakan, mempunyai kesungguhan yang luar biasa dalam menjalani hidup, dikombinasikan dengan kesungguhan dalam bekerja, menjalani profesi dan bertindak. 
c. Legalitas. 
Integritas diperoleh dari pengetehuan sendiri dan kedewasaan, mengetahui kekuatan dan kelemahan, teguh memegang prinsip dna belajar dari pengalaman. 
d. Amanah. 
Memeperoleh kepercayaan dari orang lain. Rasa ingin tahu segala hal dan ingin belajar sebanyak muingkin 
e. Berani. 
Berani mengambil resiko dan bereksperimen, mencoba hal-hal yang baru. 

2.6 PRINSIP-PRINSIP KEPEMIMPINAN 
• Memiliki orientasi hidup pada masa depan, namun selalu belajar dari masa lalu 
• Ia menggunakan perpaduan antara pikiran dan hati dalam menghadapi problem 
• Ia memiliki motivasi kuat untuk meningkatkan kualitas diri, namun ia selalu bersyukur atas segalanya 
• Ia bekerja keras namun dengan cara yang cerdas 
• Ia mengambil keputusan dan bertindak cepat, namun juga tepat 
• Ia berada di depan memberi teladan, namun juga ada di belakang memberi spirit 
• Ia tidak hanya mampu terlihat lihai memimpin orang lain, namun ia memampukan diri untuk memimpin dirinya. 

2.7 PRINSIP-PRINSIP PEMIMPIN DALAM PERSPEKTIF ISLAM 
• Menomorsatukan fungsi sebagai landasan dalam memilih orang atau sesuatu, bukan penampilan atau faktor-faktor luar lainnya. 
• Mengutamakan segi kemanfaatan daripada kesia-siaan 
• Mendahulukan yang lebih mendesak daripada yang bisa ditunda 
• Lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri 
• Memilih jalan yang tersukar untuk dirinya dan termudah untuk umatnya 
• Lebih mendahulukan tujuan akhirat daripada maksud duniawi. 

2.8 PEMIMPIN YANG IDEAL 
• Pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah, artinya pemimpin yang menegakkan amar ma’rûf nahî munkar. 
• Pemimpin yang bersikap sabar 
• Pemimpin yang meyakini kebenaran ayat-ayat Allah (ayat-ayat mikro dan makro, ayat-ayat qur’aniyah maupun kawniyyah). 
• Memiliki semangat reformasi (Ishlaâh) dan selalu berupaya untuk berbuat baik (fi’la al-khayrât), punya visi dan misi dalam membungan rakyat. 
• Memiliki kesadaran vertikal-transendental dengan selalu bertaqarrub kepada Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh para Khulafa al-râsyidîn.   


BAB III PENUTUP 

3.1 Kesimpulan 
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai bebarapa sifat, prinsip dan syarat untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, yang dimana, seorang pemimpin yang baik adalah nabi kita Muhammad saw. Baik dilihat secara global maupun dilihat dalam perspektif islam. 
3.2 Saran 
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka diharapkan pembaca perlu menggali pemahaman dari sumber lain.   


DAFTAR PUSTAKA 
Antonio, Muhammad Syafi’i.2007.The Super Leader Super Mnagaer.Jakarta: ProLM: http://www.epochtimes.co.id/ekonomi.php?id=17 
http://www.101info.net/2008/03/17/syarat-jadi-pemimpin/ 
http://id.shvoong.com/social-sciences/psychology/1843646-sifat-sifat-pemimpin-luar-biasa/ http://www.ideelok.com/opini-dan-ulasan/tipe-tipe-tipologi-pemimpin-leader http://belajarpsikologi.com/pengertian-kepemimpinan-menurut-para-ahli/ http://cwsgading.com/2009/12/30/7-prinsip-keseimbangan-kepemimpinan/ 
http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com/msg02422.html www.badilag.net/.../BAGAIMANA%20PEMIMPIN%20DALAM%20ISLAM.pdf

Read More..

Fundamental Ekonomi Islam

Islamic Wealth Management
 Manajemen Harta Menurut Pandangan Islam 

• Definisi Harta
Secara Etimologi Harta = al-maal = al-amwal – condong/berpaling 
Secara Terminologi 
Menurut Hanafiyah, 
Harta : segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan, penggunannya bisa dicampuri oleh orang lain. 
Menurut Musthafa Ahmad al-ZArqa, 
Harta: setiap materi yang mempunyai nilai yang beredar di kalangan manusia 
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqy, 
Harta ; nama bagi selain manusia, dapat dikelola, dapat dimiliki, dapat diperjualbelikan dan berharga Menurut Muh. Syalabi, Harta; sesuatu yang dapat dikuasai, dapat disimpan serta dapat diambil manfaatnya menurut kebiasaan

• Unsur-Unsur Harta 
1. Bersifat materi atau mempunyai wujud nyata (‘ainiyah) 
2. Dapat disimpan untuk dimiliki (qabilan lit-tamlik) 
3. Dapat dimanfaatkan (qabilan lil-intifa) 
4. ‘Uruf (adat atau kebiasaan) masyarakat memandangnya sebagai harta 

• Pandangan Islam terhadap Harta dan Kegiatan Ekonomi 
1. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di bumi ini termasuk harta benda adalah Allah SWT. 
QS al Hadid ; 7, An-Nuur ; 33, hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah Saw bersabda; “seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal; usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya dari mana didapatkan dan untuk apa dipergunakan serta ilmunya untuk apa dia pergunakan” 
2. Status dan kedudukan harta: 
• sebagai amanat (titipan, as a trust), QS al Taghabun; 15 
• sebagai perhiasan, QS al Kahfi;46, QS Ali Imran;14, al-’Alaq;6-7 
• Sebagai ujian keimanan, QS al-Anfaal;28 
• Sebagai bekal ibadah, QS al Taubah;41, 60, Ali Imran;133-134 
• sebagai kebutuhan mendasar, QS al-Dhuha;8 3.
Ada 3 syarat utama untuk mendapatkan harta: 
1. Harta yang diperoleh harus dengan cara yang jujur. 
2. Harta yang dibelanjakan harus dapat dipertanggung jawabkan, 
3. Harta yang diperoleh tidak merusak keimanan terhadap Allah SWT. 

4. Proses Manajemen Harta (Barat) 
1. Wealth Creation (Penghasilan Harta) 
2. Wealth Accumulation (Pengumpulan Harta) 
3. Wealth Protection (Perlindungan Harta) 
4. Wealth Distribution (Distribusi harta) 
Manajemen harta menurut perspektif barat hanya berfokus kepada nilai-nilai dunia semata. 

5. Manajemen harta dalam Islam 
1. Wealth Creation (Penghasilan Harta) 
2. Wealth Accumulation (Pengumpulan Harta) 
3. Wealth Protection (Perlindungan Harta) 
4. Wealth Distribution (Distribusi harta) 
5. Wealth Purification (Pembersihan harta) 
Manajemen harta dalam Islam fokus kepada dunia dah akhirat, sehingga dalam proses pengelolaan kekayaan akan memasukan unsur zakat, warisan, wakaf dan tabungan.
 

Produksi, Konsumsi, dan Distribusi 
PRODUKSI 
Definisi 
Secara etimologi “produksi” dalam bahasa arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min anashir al-intaj dhamina itharu zamani muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas).  
SecaraTeminologi, usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. 
• Landasan Hukum 
o An-Nahl ayat : 10, 11, 12, 18 
o Qashas ayat : 73 
o Ar Ruum ayat : 23 
o An-nisa ayat : 32, 
o An-naba’ ayat : 11 
o HR Bukhari Muslim – 
“Tidak ada yang lebih baik dari seseorang yang memakan makanan, kecuali jika makanan itu diperolehnya dari hasil jerih payahnya sendiri. Jika ada seseorang di antara kamu mencari kayu bakar, kemudian mengumpulkan kayu itu dan mengikatnya dengan tali lantas memikulnya di punggungnya, sesungguhnya itu lebih baik ketimbang meminta-minta kepada orang lain.” 
• Faktor Produks
1. Pekerja (Labour) 
Menurut Ibnu Khaldun, bekerja merupakan unsur yang paling dominan bagi proses produksi dan merupakan sebuah ukuran standar dalam sebuah nilai. 
2. Modal (Capital) Ilmu ekonomi sekuler yang dipelopori Adam Smith (kapitalisme) memandang modal dalam 2 aspek, yaitu: 1. modal yang menghasilkan barang-barang sehingga dapat langsung dikonsumsi atau dipakai dalam produksi modal ini disebut sebagai modal produktif. 2. modal yang memberikan penghasilan kepada pemiliknya setelah modal itu dipergunakan oleh orang lain dengan menarik keuntungan. Modal ini disebut modal individu. Dalam sistem Islam, modal (sebagai hak milik) adalah amanah dari Allah, yang wajib dikelola secara baik (mengharamkan penimbunan) 
3. Tanah (Sumberdaya) Al-quran dan Sunnah banyak memberikan tekanan pada pembudidayaan tanah secara baik. Bukti nyata bahwa Raulullah memberikan dorongan untuk membudidayakan tanah kosong. 
4. Kewirausahaan 
• Penentuan harga faktor produksi 
Penentuan harga faktor produksi dalam ekonomi konvensional menggunakan nilai marginal dari faktor produksi yang merupakan nilai tambah dari satu unit output yang dihasilkan dengan asumsi faktor lainnya dianggap tetap (produktifitas marginal). Sedangkan, dalam pandangan Islam, penetapan harga hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat. 
• Marginal Product 
fungsi produksi Q (quantity) = f (Labour) 
asumsi tidak ada keterlibatan mesin dan penambahan modal dalam proses produksi. 
prinsip dimana tingkat pengembalian dari penambahan input (tenaga kerja) dengan asumsi bahwa tidak ada penambahan modal dan tidak ada keterlibatan mesin dalam produksi berdampak pada penurunan penambahan produksi (marginal product) karena biaya yang dikeluarkan karena adanya penambahan tenaga kerja tidak sebanding dengan penambahan produk yang dihasilkan. 

Konsumsi 
• Kapitalis 
Konsumsi dilakukan untuk mencapai kepuasaan (utilitas) dan kemampuan disesuaikan dengan budget constrain (anggaran dana) sehingga bersifat duniawi. Anggaran dana hanya dihabiskan untuk konsumsi berbagai jenis barang. 
• Islam 
Tujuan dari konsumsi sesuatu adalah untuk kemaslahatan sehingga falah (bahagia dunia dan akhirat) dapat tercapai, Anggaran dana dipakai untuk konsumsi, amal (charity), dan saving. 

Distribusi 
• Kapitalis Terjadi praktek-praktek monopoli, bebas mengatur dan menentukan produksi dan harga 
• Sosialis monopoli oleh Negara terhadap semua sarana produksi, 
• Islam Distribusi dalam ekonomi Islam didasarkan pada dua nilai manusia yaitu Nilai kebebasan dan Nilai keadilan 
• Tujuan Distribusi Dalam Islam 
o Tujuan dakwah (bagian mualaf dlm zakat) 
o Tujuan pendidikan (suka memberi) 
o Tujuan sosial (menghidupkan solidaritas di dalam masyarakat muslim) 
o Tujuan ekonomi (pengembangan harta dan pembersihannya)

Read More..

Tinjauan Historis Teori Produksi Perspektif Islam

BAB I PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Islam adalah agama yang komprehensif karena tidak hanya berkaitan dengan masalah ibadah tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan sosial (muamalah). Muamalah diturunkan sebagai aturan main manusia dalam kehidupannya sehingga setiap perbuatan manusia baik dalam hal kepentingan pribadi maupun sosial harus sesuai dengan syariah islam. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah beserta para sahabatnya. Dalam muamalah ini pun tidak ada perbedaan antara muslim dan non muslim. Hal ini tersirat dari ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali “Dalam bidang muamalah, kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita.”
Islam memiliki kekuatan hukum, peraturan, tata krama, dan tingkah laku. Oleh karena itu sangat tidak adil jika petunjuk kehidupan yang lengkap ini dipisahkan antara bagian yang satu dengan yang lainnya. Untuk itu Allah berfirman : 

 “Apakah kamu beriman dengan sebagian kitab dan menolak yang lainnya? Tetapi pahala orang-orang di antara kamu yang baik kecuali kesombongan dan pada hari kiamat mereka mendapatkan hukuman, karena Allah tidak lalai terhadap apa yang kamu kerjakan.” 

Ekonomi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia di segala bidang. Kegiatan ekonomi tidak lepas dari proses produksi, konsumsi, maupun distribusi. Dari ketiganya Produksi mempunyi peranan penting dalam peekonomian karena produksi menentukan kemakmuran suatu bangsa dan taraf hidup manusia. Al Qur’an telah meletakkan landasan yang jelas tentang produksi. Salah satu diantaranya adalah diperintahkannya bekerja keras dalam mencari kehidupan agar tidak mengalami kegagalan atau tertinggal dalam berjuag demi kelangsungan hidupnya. Allah telah menganugerahkan alam semesta untuk kesejahteraan manusia. Sebagai khalifah di bumi manusia diberikan kebebasan dalam mengelola kekayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. 
Aktivitas kerja manusia dalam melakukan produksi yang merupakan dasar berjalannya roda perekonomian. Dengan melakukan produksi sendi perekonomian akan tetap berjalan yaitu tetap ada mata pencaharian yang beruntut pada sektor distribusi dan konsumsi dalam Ekonomi. Sehingga kebutuhan dari manusia akan tetap berjalan dengan terpenuhinya kebutuhan primer yaitu melakukan konsumsi barang. 
Namun, sebagai seorang muslim tentunya hal tersebut harus sejalan dengan aturan islam. Aturan ekonomi islam yang komprehensif berbeda dengan aturan lainnya. Islam tidak pernah memperbolehkan umatnya menjadi budak nafsu dan ambisi sehingga pemenuhan kebutuhan tidak hanya bersifat materi secara fisik tetapi juga kebutuhan spiritual. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas produksi dalam perspektif islam. 

1.2 Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini, penulis akan menmbahas beberapa masalah yaitu : 
1. Bagaimana sistem produksi dalam pandangan islam? 
2. Bagaimana pemikiran cendekiawan muslim tentang produksi? 

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas fundamental ekonomi islam dan untuk mengetahui serta memahami lebih mendalam tentang sistem produksi dalam islam.   


BAB II PEMBAHASAN 


2.1 Definisi Produksi 
Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Dalam istilah ekonomi produksi merupakan suatu proses (siklus) kegiatan-kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi (tanah, modal, tenaga kerja). Kegiatan menambah daya guna suatu benda tanpa mengubah bentuknya dinamakan produksi jasa. Sedangkan kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan bentuknya dinamakan produksi barang. 
Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan pendapat bahwa kata “produksi” dalam bahasa Arab sama dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir al-intaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas). Pandangan Rawwas di atas mewakili beberapa definisi yang ditawarkan oleh pemikir ekonomi lainnya. Hal senada juga diutarakan oleh Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam bukunya Muqaddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-Islamiy. Abdurrahman lebih jauh menjelaskan bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut. Produksi dalam pandangannya harus mengacu pada nilai utility dan masih dalam bingkai nilai ‘halal’ serta tidak membahayakan bagi diri seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Dalam hal ini, Abdurrahman merefleksi pemikirannya dengan mengacu pada QS. Al-Baqarah [2]: 219 yang menjelaskan tentang pertanyaan dari manfaat memproduksi khamr. Lain halnya dengan Taqiyuddin an-Nabhani, dalam mengantarkan pemahaman tentang ‘produksi’, ia lebih suka memakai kata istishna’ untuk mengartikan ‘produksi’ dalam bahasa Arab. An-Nabhani dalam bukunya an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam memahami produksi itu sebagai sesuatu yang mubah dan jelas berdasarkan as-Sunnah. Sebab, Rasulullah Saw pernah membuat cincin. Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan “Nabi Saw telah membuat cincin.” (HR. Imam Bukhari). Dari Ibnu Mas’ud: “Bahwa Nabi Saw. telah membuat cincin yang terbuat dari emas.” (HR. Imam Bukhari). Beliau juga pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata: “Rasulullah Saw telah mengutus kepada seorang wanita, (kata beliau): Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk di atasnya.” (HR. Imam Bukhari). Pada masa Rasulullah, orang-orang biasa memproduksi barang, dan beliau pun mendiamkan aktifitas mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukkan adanya pengakuan (taqrir) beliau terhadap aktifitas berproduksi mereka. Status (taqrir) dan perbuatan Rasul itu sama dengan sabda beliau, artinya sama merupakan dalil syara’. 

2.2 Motif Produksi 
Produksi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mencapai kemakmuran. Kemakmuran dapat tercapai jika tersedia barang dan jasa dalam jumlah yang mencukupi. Akan tetapi ilmu ekonomi konvensional selalu mengusung maksimalisasi kepuasan dan keuntungan sebagi motif utama. Motif maksimalisasi kepuasan dan keuntungan menjadi pendorong sekaligus tujuan dalam pandangan ekonomi konvensional bukannya salah atau pun dilarang dalam islam. Islam menempatkannya pada posisi yang benar yaitu semua itu dalam rangka maksimalisasi kepuasan dan keuntungan di akhirat. 
Konsep ekonomi konvensional tentang pencapaian kepuasan dan keuntungan adalah suatu yang abstrak. Secara teoritis memang dapat dihitung pada keadaan bagaimana keuntungan maksimal tercapai. Namun ketika pada prakteknya, tak seorang pun yang mengetahui apakah dalam kondisi tertentu ia sedang, sudah, atau bahkan belum mencapai keuntungan maksimum. Implikasinya konsep ini hanya bisa dijadikan acuan teknis tetapi tidak dapat menjadi patokan perilaku. 
Upaya memaksimalkan keuntungan menjadikan ekonomi konvensional mendewakan produktivitas dan efisiensi ketika berproduksi. Mereka mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan dari suatu proses produksi yang justru menimpa masyarakat yang tidak ada hubungannya dengan produk yang dibuat, baik sebagai konsumen maupun sebagai bagian dari faktor produksi. Contohnya pencemaran yang dilakukan pabrik kertas maka kelompok yang paling menderita akibat pencemaran tersebut adalah masyarakat sekitar pabrik yang tidak mendapat manfaat langsung dari proses produksi tersebut. Selain itu, ekonomi konvensional melupakan kemana produknya mengalir asalkan efisiensi ekonomi tercapai dengan keuntungan yang memadai. Mereka puas dengan hal itu walaupun produknya hanya dikonsumsi oleh sebagian kecil kelompok masyarakat. 

2.3 Produksi Dalam Pandangan Islam
Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah., maka konsep produksi di dalam ekonomi islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat.Surat al-Qashash ayat 77 mengingatkan manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia. Urusan dunia hanya sebagai sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat. 
Islam menjelaskan nilai-nilai moral di samping utilitas ekonomi. Bahkan sebelum itu, islam pun menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan Menurut ajaran islam, manusia adalah khalifatullah dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah kepada-Nya. Dalam Qur’an surat Al-An’am ayat 165 Allah berfirman: 

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dsn sesungguhya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

Islam secara khas menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin dalam Qur’an Surat Al-Hadid ayat 7 

“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu mengausainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” 

Hal ini memang karena dalam sebagian harta kita terdapat hak orang lain. Kegiatan produksi harus surplus untuk mencukupi keperluan konsumtif dan meraih keuntungan finansial, sehingga bisa berkontribusi pada kehidupan sosial. Lalu, kegiatan produksi pun harus mengupayakan pemanfaatan sumber daya secara penuh dan harus memastikan bahwa barang yang diproduksi halal dan bermanfaat bagi masyarakat. “Pribadi dan masyarakat muslim itu produktif dan kontributif bagi kesejahteraan dan keadaan manusia bahkan tidak ada ajaran selain islam yang menguduskan kerja produksi seperti ini”, kata Al-Qardhawi. 
Dalam islam, produksi yang surplus dan berkembang baik secara kuantitatif dan kualitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan masyarakat.. Produk melimpah tidak akan ada artinya apabila hanya bisa didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak. Allah menyediakan bumi beserta isinya bagi manusia sebagai modal dasar produksi yang dapat diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh umat manusia. Hal ini tercantum dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 22 

“Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” 

2.4 Prinsip-Prinsip Produksi Dalam Islam
Prinsip fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Keunikan konsep islam mengenai kesejahteraan ekonomi terletak pada kenyataan bahwa kesejahteraan ekonomi tidak dapat mengabaikan pertimbangan kesejahteraan umum lebih luas yang menyangkut persoalan-persoalan tentang moral, pendidikan, dan agama. Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan ekonomi diukur dari segi uang. Seperti kata Profesor Pigou: “Kesejahteraan ekonomi kira-kira dapat didefinisikan sebagai bagian kesejahteraan yang dapat dikaitkan dengan alat pengukur uang.” Karena kesejahteraan ekonomi modern bersifat materialistis. 
Menurut Mannan, konsep kesejahteraan ekonomi islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari hanya barang-barang yang berfaedah melalui pemanfaatan sumber-sumber daya secara maksimum baik manusia maupun benda serta jumlah maksimum orang dalam proses produksi. Dalam sebuah negara islam kenaikan volume produksi saja tidak akan menjamin kesejahteraan rakyat secara maksimum. Mutu barang-barang yang diproduksi yang tunduk pada perintah Al-Qur’an dan sunnah juga harus diperhitungkan dalam menentukan sifat kesejahteraan ekonomi. 
Demikian pula kita harus memperhitungkan akibat-akibat tidak menguntungkan yang akan terjadi dalam hubungannya dengan perkembangan ekonomi bahan-bahan makanan dan minuman terlarang. Ringakasnya, sistem produksi dalam suatu negara islam harus dikendalikan oleh kriteria objektif maupun subjektif, kriteria objektif akan tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi uang dan kriteria subjektifnya dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah. 
Al-qur’an dan Hadis Rasulullah SAW, memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut: 
1. Tugas Manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. 2. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Namun, Islam tidak membenarkan karya ilmu pengetahuan yang terlepas dari Al-Qur’an dan Sunnah. 
3. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia. Rasulullah bersabda, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” 
4. Pada prinsipnya islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. 
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah: 
1. Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi 
2. Mencegah kerusakan di bumi, termasuk membatasi polusi atau pencemaran, memelihara keserasian dan ketersediaan sumber daya. 
3. Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuha individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang haus dipenuhi terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk kemakmuran material. 
4. Produksi dalam islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian umat demi terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material. 
5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik. Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran rohaniah, lalu kualitas mental terkait dengan etos kerja, intelektual, dan kreatifitasnya sedangkan kualitas fisik mencakup kekuatan fisik, kesehatan, dan efisiensi. 
Dalam islam menurut Muhammad Abdul Mannan (1992) perilaku produksi tidak hanya menyandarkan pada kondisi permintaan pasar melainkan juga berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Pendapat ini didukung oleh M.M Metwally yang menyatakan bahwa fungsi kepuasan perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh variable tingkat keuntungan tetap juga oleh variabel pengeluaran yang bersifat charity. Fungsi utilitas pengusaha muslim adalah sebagai berikut : 
               Umax = U (F,G) 
Dimana : F= tingkat keuntungan
              G= tingkat pengeluaran untuk charity

Pengeluaran perusahaan untuk charity akan meningkatkan produk perusahaan karena G menghasilkan efek pengganda (multiplier effects) terhadap kenaikan kemampuan beli masyarakat yang akan berdampak pada meningkatnya permintaan terhadap produk perusahaan. 

2.5 Faktor produksi 
Terdapat perbedaan pendapat dari para ulama tentang faktor produksi. Menurut Al-Maududi dan Abu Su’ud faktor produksi terdiri atas amal/kerja (labor), tanah (land), dan modal (capital). Hal ini berbeda dengan M.A Mannan yang menyatakan bahwa faktor produksi tidak hanya itu ia menambahkan organisasi sebagai faktor produksi. Namun, menurut An-Najjar, faktor produksi hanya terdiri dari dua elemen yaitu amal (labor) dan modal (capital). An-Najjar berpendapat bahwa bumi atau tanah (land) merupakan bagian dari capital, sedangkan manajemen merupakan manifestasi pekerjaan. Abu Sulaiman menyatakan bahwa amal bukanlah merupakan faktor produksi. Pemikiran tersebut muncul berdasarkan atas falsafah kapitalisme yang menganggap produksi merupakan tujuan akhir kegiatan ekonomi. Menurutnya, faktor produksi hanya terdiri dari capital dan land. Dalam syariah islam, dasar hukum transaksi (muamalah) adalah ibahah (diperbolehkan) sepanjang tidak ditemukannya larangan dalam nash atau dalil. Maka tidak ada salahnya apabila terjadi capital dijadikan sebagai faktor atau elemen penunjang dalam kegiatan produksi. Faktor- faktor produksi yaitu: 

 a. Tanah 
Tanah mengandung pengertian yang luas mencakup semua sumber yang kita dapatkan dari udara, laut, gunung, sampai dengan keadaan geografi, angin, dan iklim terkandung dalam tanah, Baik Al-Qur’an maupun Sunnah banyak memberikan tekanan pada pembudidayaan tanah secara baik. Dengan demikian Al-Qur’an menaruh perhatian akan perlunya mengubah tanah kosong menjadi kebun-kebun dengan mengadakan pengaturan pengairan dan menanaminya dengan tanaman yang baik. Dalam Al-Qur’an dikatakan: 

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami menghalau hujan ke Bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan tanam-tanaman yang daripadanya dapat makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri….” (Qur’an Surat As-Sajadah:27)

Kita mempunyai bukti untuk menunjukkan bahwa telah diberikan dorongan untuk membudidayakan tanah kosong. Hal itu bersumber pada Aisyah yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah berkata: “Siapa saja yang menanami tanah yang tiada pemiliknya akan lebih berhak atasnya” (Bukahari). 

b. Tenaga kerja 
Bekerja merupakan pondasi dasar dalam produksi sekaligus berfungsi sebagai pintu pembuka rezeki. Menurut Ibnu Khaldun, bekerja merupakan unsur yang paling dominan bagi proses produksi dan merupakan sebuah ukuran standar dalam sebuah nilai. Proses produksi akan sangat bergantung terhadap usaha atau kerja yang dilakukan oleh para karyawan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Selain itu adanya profesionalisme dalam bekerja akan meningkatkan nilai atas hasil produksi. 
Rasulullah Saw bersabda, “Bekerja merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” Menurut Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dalam kitab al-Iktisab fi ar-Rizq al-Mustathab, “Barang siapa terlelap tidur karena kelelahan mencari rezeki yang halal, maka orang tersebut tidur dalam ampunan Allah.” 
Allah SWT berfirman, 

“Dia-lah Allah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali) setelah dibangkitkan.” (Qur’an Surat Al-Mulk: 15) 

Dalam islam tenaga kerja bukan hanya suatu jumlah usaha atau jasa yang abstrak yang ditawarkan untuk diual pada pencari tenaga manusia. Mereka yang memperkerjakan buruh mempunyai tanggung jawab moral dan sosial. Seorang pekerja modern memiliki tenaga yang berhak dijualnya dengan harga tinggi, tetapi dalam islam ia tidak mutlak bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu. Ia tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak diizinkan syariat. 

c. Modal 
Dalam pandangan ekonomi, capital adalah bagian dari harta kekayaan yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, seperti mesin, alat produksi, equipment, gedung, dan lain-lain. Dalam operasionalnya capital, mempunyai kontribusi yang cukup berarti bagi terciptanya barang dan jasa. Sebagai konsekuensi, capital berhak mendapatkan kompensasi atas yang telah diberikan. Dalam kapitalisme, capital berhak mendapatkan bunga sebagai kompensasi pinjaman (return of loans). 
Pada sistem ekonomi islam, kompensasi pinjaman yang diberikan dibedakan berdasarkan atas jenis komoditas yang dipinjamkan. Apabila capital yang dinvestasikan berupa uang, maka konsep syariah yang bisa digunakan adalah bagi hasil (profit loss sharing). Namun jika yang dinvestasikan berupa mesin dan peralatan lainnya, maka yang wajib dibayarkan adalah biaya sewa atas peralatan tersebut. 

d. Organisasi 
Organisasi dianggap sebagai faktor produksi yang memiliki peran penting. Hal ini karena suatu bisnis tidak mungkin dapat berdiri apabila tidak ada struktur oragnisasi yang jelas Dengan adanya struktur organisasi maka terdapat orang yang melakukan proses perencanaan, pengorganisasian, pengaktualisasian, dan proses evaluasi yang berpengaruh pada eksistensi suatu bisnis. Lebih dari itu organisasi dapat menerapkan nilai-nilai islam dalam bisnisnya. 

2.6 Teori Produksi Menurut Ibnu Khaldu
Bagi Ibn Khaldun, produksi adalah aktivitas manusia yang diorganisasikan secara sosial dan internasional. Manusia adalah binatang ekonomi. Tujuannya adalah produksi. Pada sisi lainnya, faktor produksi yang utama adalah tenaga kerja manusia. Karena itu, manusia harus melakukan produksi guna mencukupi kebutuhan hidupnya, dan produksi berasal dari tenaga manusia (Bandingkan dengan teori Adam Smith yang mengatakan bahwa sumber kemakmuran adalah kerja.). 
“Tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi laba dan modal. Jika [sumber produksi] adalah kerja, sedemikian rupa seperti misalnya [pekerjaan] kerajinan tangan, hal ini jelas. Jika sumber pendapatan adalah hewan, tanaman atau mineral, seperti kita lihat, tenaga manusia tetaplah penting. Tanpa [tenaga manusia], tidak ada hasil yang akan dicapai, dan tidak akan ada [hasil] yang berguna.”  
Namun demikian, manusia tidak dapat sendirian memproduksi cukup makanan untuk hidupnya. Jika ia ingin bertahan, ia harus mengorganisasikan tenaganya. Organisasi sosial dari tenaga kerja ini harus dilakukan melalui spesialisasi yang lebih tinggi dari pekerja. Hanya melalui spesialisasi dan pengulangan operasi-operasi sederhanalah orang menjadi terampil dan dapat memproduksi barang dan jasa yang bermutu baik dengan kecepatan yang baik (Bandingkan dengan teori Adam Smith yang menyatakan tentang spesialisasi kerja). “Setiap jenis keahlian tertentu membutuhkan orang yang bertugas atasnya dan terampil melakukannya. Semakin banyak ragam pembagian dari suatu keahlian, semakin banyak jumlah orang yang [harus] mempraktekkan keahlian itu. Kelompok tertentu [yang mempraktekkan keahlian itu] diwarnai olehnya. Seiring dengan berjalannya waktu, dan bertambahnya jenis-jenis profesi satu demi satu, para tukang menjadi berpengalaman dalam berbagai keahliannya dan terampil dalam pengetahuan tentangnya. Jangka waktu yang panjang dan pengulangan [pengalaman] yang mirip menambah kepada pembentukan keahlian tersebut dan menyebabkannya berakar dengan kuat”
Sebagaimana terdapat pembagian kerja di dalam negeri, terdapat pula pembagian kerja secara internasional. Pembagian kerja internasional ini tidak didasarkan kepada sumber daya alam dari negeri-negeri tersebut, tetapi didasarkan kepada keterampilan penduduknya, karena bagi Ibn Khaldun, tenaga kerja adalah faktor produksi yang paling penting. Karena itu, semakin banyak populasi yang aktif, semakin banyak produksinya. Sejumlah surplus barang dihasilkan dan dapat diekspor, dengan demikian meningkatkan kemakmuran kota tersebut. Pada lain pihak, semakin tinggi kemakmuran, semakin tinggi permintaan penduduk terhadap barang dan jasa. Hal ini menyebabkan naiknya harga-harga barang dan jasa tersebut, dan juga naiknya gaji yang dibayarkan kepada pekerja-pekerja terampil. 
Dengan demikian, Ibn Khaldun menguraikan suatu teori yang menunjukkan interaksi antara permintaan dan penawaran, permintaan menciptakan penawarannya sendiri yang pada gilirannya menciptakan permintaan yang bertambah. Bagi Ibn Khaldun, karena faktor produksi yang paling utama adalah tenaga kerja dan hambatan satu-satunya bagi pembangunan adalah kurangnya persediaan tenaga kerja yang terampil, proses kumulatif ini pada kenyataannya merupakan suatu teori ekonomi tentang pembangunan. Teori Ibn Khaldun merupakan embrio suatu teori perdagangan internasional, dengan analisis tentang syarat-syarat pertukaran antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin, tentang kecenderungan untuk mengekspor dan mengimpor, tentang pengaruh struktur ekonomi terhadap perkembangan, dan tentang pentingnya modal intelektual dalam proses pertumbuhan. 

2.6 Teori Produksi Menurut Muhammad Baqir Ash Shadr 
Dalam aktivitas produksi terdapat dua aspek yang mendasari terjadinya aktivitas produksi. Pertama adalah aspek obyektif atau aspek ilmiah yang berhubungan dengan sisi teknis dan ekonomis yang terdiri atas sarana-sarana yang digunakan, kekayaan alam yang diolah, dan kerja yang dicurahkan dalam aktivitas produksi. Aspek obyektif ini berusaha untuk menjawab masalah-masalah efisiensi teknis dan ekonomis yang berkenaan dengan tiga pertanyaan dasar yang terkenal dengan istilah The Three Fundamental Economic Problem yang meliputi Apa yang akan diproduksi? Bagaimana cara untuk berproduksi yang efisien? Dan untuk siapa produksi ini ditujukan? 
Kedua adalah aspek subjektif . Aspek subyektif yaitu aspek yang terdiri atas motif psikologis, tujuan yang hendak dicapailewat aktivitas produksi, dan evaluasi aktivitas produksi menurut berbagai konsepsi keadilan yang dianut. Sisi obyektif aktivitas produksi adalah subyek kajian ilmu ekonomi baik secara khusus maupun dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan lainnya guna menemukan hokum-hukum umum yang mengendalikan sarana-sarana produksi dan kekayaan alam supaya dalam satu kondisi manusia dapat menguasai hokum-hukum tersebut dan memanfaatkannya untuk mengorganisasi sisi obyektif produksi secara lebih baik dan lebih sukses. Selain itu, menurut Sadr sumber asli produksi dijabarkan dalam tiga kelompok yang terdiri atas alam, modal, dan kerja. Adapun sumber alam yang dipergunakan untuk aktivitas produksi Sadr membaginya kembali ke dalam tiga kelompok yaitu tanah, substansi-substansi primer, dan aliran air.

2.7. Strategi Pertumbuhan Produksi 
Dalam rangka mewujudkan pertumbuhan produksi, Sadr menawarkan dua strategi yaitu: 
1. Strategi doctrinal (intelektual) 
Strategi ini bertolak pada asumsi bahwa manusia termotivasi untuk bekerja keras di pandang sebagai ibadah jika dilaksanakan dengan pemahaman dan niat. Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW, mengangkat tangan seorang penjahit yang bekerja keras, lalu beliau SAW mencium tangan tersebut dan berkata, “Mencari (nafkah) yang halal adalah kewajiban bagi setiap orang beriman, laki-laki dan perempuan. Ia yang memakan apa yang dihasilkan dari kerja keras tangannya, akan menyeberangi shirath seperti kilat. Ia yang memakan apa yang ia dapatkan dari kerja keras tangannya, di hari kemudian Allah akan memandangnya (dengan pandangan) kemurahan hati dan tidak akan menghukumnya. Ia yang memakan apa yang ia dapatkan secara halal dari kerja keras tangannya, seluruh pintu surga akan terbuka baginya dan ia dapat memasuki dari pintu manapun. Membiarkan sumber-sumber menganggur, melakukan pengeluaran mubadzir ataupun produksi barang-barang haram adalah terlarang dalam ajaran islam. Pemikiran demikian merupakan landasan doctrinal dalam mewujudkan pertumbuhan produksi. 
2. Strategi Legislative (hukum) 
Untuk keberlangsungan strategi doctrinal di atas, maka diperlukan aturan hukum yang melengkapi strategi doctrinal tersebut. Beberapa strategi legislative atau aturan hukum yang ditawarkan antara lain sebagai berikut: 
a. Pengambilalihan tanah dari penguasaan pemiliknya jika ia mengabaikannya hingga tanah tersebut menjadi tanah mati dan tidak bisa lagi ditanami. 
b. Larangan terhadap hima. Hima adalah dimana seseorang menguasai suatu area terbuka berupa tanah mati melalui kekuatan, bukan melalui kerja dengan mengubah tanah tersebut menjadi bisa ditanami dan dimanfaatkan secara produktif. 
c. Larangan kegiatan transaksi yang tidak produktif, seperti membeli murah dan menjualnya dengan harga yang mahal tanpa bekerja. 
d. Pelarangan riba, ihtikar, pemusatan sirkulasi kekayaan, dan melakukan tindakan yang berlebihan atau mubadzir. 
e. Melakukan regulasi pasar dan mengontrol situasi pasar. 

2.8 Kebijakan Ekonomi Untuk Meningkatkan Produksi 
Sarana-sarana di atas adalah sumbangsih islam sebagai sebuah doktrin dala pertumbuhan produksi dan peningkatan kekayaan. Setelah memberikan sumbangsih tersebut, islam menyerahkan langkah-langkah selanjutnya kepada Negara dengan mengkaji berbagai situasi dan kondisi obyektif kehidupan ekonomi. Melakukan survei dan sensus tentang kekayaan alam, apa saja yang dimiliki Negara, lalu mengkaji secara komprehensif tenaga kerja dalam masyarakat serta berbagai kesulitan dan kehidupan yang mereka jalani. Berdasarkan semua itu, dalam batas-batas doctrinal diformulasikan kebijakan ekonomi yang mengarah kepada pertumbuhan produksi dan peningkatan kekayaan yang ikut andil dalam mempermudah serta mempernyaman kehidupan masyarakat. 
Atas dasar pemikiran ini Sadr, memahami hubungan antara agama dengan kebijakan ekonomi Negara adalah satu kesatuan yang utuh. Dalam hal ini Negara mematok jangka waktu tertentu seperti lima tahun untuk mencapai tujuan atau target tertentu. Kebijakan seperti ini bukan merupakan unsure pokok agama begitupun penentu serta formulasinya pun bukan merupakan tugas agama, melainkan hasil pembumian nilai-nilai syariah oleh pemerintah. 


BAB III KESIMPULAN 

Islam sebagai agama yang bersifat komprehensif mencakup segala bidang kehidupan manusia memiliki perspektif tersendiri mengenai konsep produksi. Islam sangat mendorong kegiatan produksi hal ini terbukti dari firman Allah SWT, 

Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah :22) 

Al-qur’an dan Hadis Rasulullah SAW, memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut: 
1. Tugas Manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. 2. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Namun, Islam tidak membenarkan karya ilmu pengetahuan yang terlepas dari Al-Qur’an dan Sunnah. 
3. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia. Rasulullah bersabda, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” 
4. Pada prinsipnya islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. 
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah: 
1. Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi 
2. Mencegah kerusakan di bumi, termasuk membatasi polusi atau pencemaran, memelihara keserasian dan ketersediaan sumber daya. 
3. Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuha individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang haus dipenuhi terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk kemakmuran material. 
4. Produksi dalam islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian umat demi terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material. 
5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik. Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran rohaniah, lalu kualitas mental terkait dengan etos kerja, intelektual, dan kreatifitasnya sedangkan kualitas fisik mencakup kekuatan fisik, kesehatan, dan efisiensi. 


DAFTAR PUSTAKA 

http://id.wikipedia.org/wiki/Produksi 
http://ikhwan-kiri.blogspot.com/2010/10/pemikiran-ekonomi-ibn-khaldun.html 
http://zonaekis.com 
Marthon,Said Sa’ad.2007.Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global.Jakarta:Zikrul Hakim. Nasution,Mustafa Edwin.2006.Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam.Jakarta:Kencana. 
Saud, Mahmud Abu.1992.Garis-Garis Besar Ekonomi Islam.Jakarta:Gema Insani Press.

Read More..

Islamic Micro Finance

Islamic Micro Finance 




Disusun oleh : 
Ria Budiati 
Hafazoh Alawiyah 
Najmiah Al Fadhilah 
Ananda Rizky Yasinda 
Shofiyatul Muthi’ah 







KATA PENGANTAR 


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur diucapkan untuk Allah SWT yang senantiasa melimpahkan kasih sayang dan rahmat-Nya untuk kita semua hamba-Nya yang rapuh dalam langkah dan kadang tak setia kepada-Nya. Begitu banyak nikmat yang tercurah tanpa mengharap imbalan dari hamba yang tak lepas dari khilaf dan dosa. Sholawat dan salam senantiasa tercurah untuk kekasih Allah SWT, Rasulullah SAW yang telah megajarkan kita ilmu pengetahuan yang tak terbatas. 
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Lembaga Keuangan Syari’ah dengan topik Islamic Micro Finance 
Makalah ini disusun dengan maksimal dan sebaik-baiknya. Tetapi fitrahnya manusia bahwa selalu ada khilaf di dalam perbuatan sehingga penyusun memohon maaf jika terdapat kekurangan di dalam penyusunan makalah ini. Saran dan kritik dari semua pihak, baik itu mahasiswa atau dosen diharapkan oleh penyusun sebagai langkah perbaikan diri. 
Terimakasih yang mendalam penyusun sampaikan kepada dosen mata kuliah Manajemen Lembaga Keuangan Syari’ah dan mahasiswa untuk dukungan dan motivasinya sehingga makalah ini dapat selesai disusun dengan baik. 

Wassalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakaatuh


BAB I PENDAHULUAN 
Salah satu concern utama negara-negara di dunia saat ini adalah bagaimana mencapai target MDG (Millennium Development Goals) dalam pengurangan angka kemiskinan hingga separuh pada tahun 2015 mendatang. Bahkan beberapa negara berpendapatan-tinggi, seperti AS dan China, bersepakat untuk mengembangkan konsep pengentasan kemiskinan melalui hibah dana bagi kelompok negara-negara berkembang, demi mencapai target tersebut. Konsep ini akan bertumpu pada pengembangan lembaga keuangan mikro. Yang menarik adalah, konsep lembaga keuangan mikro (LKM) syariah juga mendapat perhatian yang cukup signifikan. Banyak pihak yang tertarik dengan kinerja LKM syariah kita dan berusaha mengadopsi pola kerja LKM syariah tersebut untuk diterapkan di berbagai negara di dunia. 
Kita berkeyakinan bahwa konsistensi kita dalam mengembangkan LKM syariah ini akan menjadi salah satu jalan yang efektif untuk mengulang golden period (masa keemasan) yang pernah ada pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu lembaga amil zakat dan lembaga sosial lainnya mengalami kesulitan dalam pendistribusian harta yang terkumpul pada masyarakat. Masyarakat sudah sangat sejahtera dengan telah terpenuhinya berbagai macam kebutuhan mereka, seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, kebebasan mengungkapkan pendapat, dan lain-ain. Sebuah mimpi yang harus kita wujudkan menjadi kenyataan. Ke depan, peran LKM syariah akan semakin bersifat strategis dan penting dalam menopang pertumbuhan perekonomian nasional. 

1.1 Perkembangan LKM Syariah 
Perkembangan lembaga keuangan mikro syariah terutama dalam satu dasawarsa terakhir, baik dari jumlah lembaga maupun jumlah nasabah, menunjukkan angka yang luar biasa. Hal ini tidak terlepas dari semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat akan manfaat dan pentingnya menjalankan aktivitas ekonomi melalui lembaga keuangan ini untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Bahkan diprediksi bahwa LKM akan memiliki peran strategis dalam mengakselerasi proses Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2030 mendatang. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Chairul Tanjung, pengusaha yang juga Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN), dalam ceramahnya pada peringatan Dies Natalis Ke-47 Institut Pertanian Bogor (IPB). Beliau berkeyakinan bahwa Indonesia akan masuk dalam lima terbesar developed country pada 2030 nanti dengan L,KM menjadi salah satu pilar utamanya. Program pengentasan kemiskinan melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sesungguhnya telah dilaksanakan di banyak negara iberkembang. Program ini merupakan sarana untuk membantu pengusaha kecil-menengah dalam membiayai investasi untuk kegiatan ekonomi, mengurangi kerentanan terhadap goncangan eksternal, pengeluaran konsumsi, dan memungkinkan para arbeitlose (pengangguran) untuk berwirausaha ketika peluangupah di sektor formal ekonomi terbatas. Bahkan PBB secara tegas menyatakan bahwa tahun 2005 lalu sebagai permulaan tahun internasional bagi lembaga keuangan Mikro, yang mengakui bahwa lembaga ini merupakan sarana penting mengurangi kemiskinan dunia. 
Dalam konsep Islam, negara manapun yang memiliki goal yang jelas, yakni terbentuknya tatanan masyarakat yang sejahtera sebagaimana yang disampaikan Imam al Syatibi dalam karyanya al muwafaqat fii al ushul, akan berusaha dengan konsisten mencari dan menjalankan berbagai kegiatan ekonomi yang menguntungkan dan sesuai dengan karakter bangsa. Islamic Micro-finance yang di dalamnya ada BMT, Koperasi Syariah, BPRS serta bank-bank Islam dengan unit usaha mikronya diharapkan dapat membantu merealisasikan tujuan tersebut. 
PINBUK sendiri, sebagai institusi yang mewadahi lembaga BMT di Indonesia, telah mencatat bahwa jumlah BMT yang beroperasi sampai dengan tahun 2009 di berbagai provinsi mencapai angka 3.536 lembaga (lihat gambar 1). PINBUK juga mencatat bahwa pertumbuhan BMT pertahunnya rata-rata mencapai angka sekitar 108 lembaga. Dengan fakta seperti ini, maka proyeksi pertumbuhan BMT 20 tahun ke depan akan sangat luar biasa. Apalagi data ini belum mencakup koperasi syariah, Koppontren (koperasi pondok pesantren) atau BMT lain yang belum terdata oleh Pinbuk. 
Dari sisi nilai aset, yang mana akan berpengaruh pada seberapa besar karyawan yang akan dipekerjakan, atau seberapa banyak nominal uang yang akan dikelola, terdapat lebih kurang 168 BMT yang memiliki aset lebih dari Rp 1 milyar. Bahkan beberapa BMT ada yang memiliki aset hingga puluhan milyar rupiah, seperti BMT Bina Ummat Sejahterah di Lasem dan BMT Beringharjo di Jogjakarta. Sedangkan BMT Marsalah Mursalah lil Ummah (MMU) dan BMT UGT Sidogri Pasuruan pada tahun 2009, masing-masing beraset 56,79 Milyar dan 164,87 milyar rupiah, dan mereka rata-rata telah mempunyai outlet/cabang di beberapa provinsi di Indonesia. Selanjutnya, hampir 80 persen BMT, menurut catatan PINBUK, memiliki aset antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta. Hanya 9,32 persen yang memiliki aset di bawah Rp 50 juta. 
Hal yang sangat menarik dari berkembangnya jumlah lembaga keuangan mikro Islam ini, bahwa permasalahan dukungan financial yang dihadapi mayoritas bangsa ini (terutama para petard) akan bisa terselesaikan jika peran LKM syariah ini bisa dioptimalkan. Dalam sebuah studi empiris yang dilakukan di Gunung Kidul-Jogjakarta oleh lembaga penelitian InterCafe IPB bekerja sama dengan CIFOR, ditemukan bahwa mayoritas masyarakat petani yang hidup di pedesaan, lebih memilih kelompok arisan atau koperasi (45,5 persen), yang prakteknya berbasis bagi hasil dan sesuai budaya lokal, ketika ditanya preferensi lembaga yang akan didatangi sebagai solusi terhadap masalah finansial yang dihadapi (lihat Gambar 2). Optimisme untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai terwujudnyawelfare di berbagai daerah, juga dapat dilihat dari banyaknya jumlah Koperasi Pondok Pesantren, yang juga memiliki misi mengembangkan ekonomi ummat berbasis pesantren di tanah air. Data Direktorat Pendidikan Diniyyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI menyatakan bahwa lembaga pendidikan tertua di Indonesia ini, kurang lebih berjumlah 17.180 pesantren, dan lebih dari 4000 diantaranya telah memiliki koperasi pondok pesantren yang beroperasi secara khusus dalam melayani santri dan masyarakat sesuai values ekonomi Islam. 

1.2 Langkah Strategis 
Dengan kondisi di atas, diperlukan sejumlah langkah agar peran LKM syariah menjadi semakin besar ke depannya. Paling tidak, ada tiga tahap yang harus dilakukan. Pertama, tahap pembenahan. Tahap ini harus dimulai dari sekarang hingga 2015. Dalam tahap ini semua stakeholders dan para decision maker, harus merapatkan barisan dengan membentuk berbagai aktifitas yang mendukung terbentuknya lembaga keuangan mikro syariah yang akuntabel, kredibel, dan menunjukkan kinerja lembaga yang bagus. Diharapkan pada tahap ini, kita bisa mencapai angka pertumbuhan ekonomi antara 5-7 persen.
Kedua, tahap akselerasi, yang dimulai dari tahun 2015 hingga 2025. Pada masa ini akan terbentuk berbagai industri yang maju, dengan didukung kuatnya lembaga ekonomi mikro, termasuk LKM syariah. Industri yang maju tersebut diharapkan memiliki kinerja yang sangat baik, sehingga mampu mengangkat level economic growth sekitar 9-11 persen per tahun. Ketiga, tahap sustainable, yang diharapkan terlaksana pada tahun 2025 hingga 2030. Diharapkan pada fase ini, Indonesia telah berada pada kelompok negara maju, dimana pertumbuhan sektor jasa dan keuangan syariah, yang mampu mengintegrasikan sektor riil dan sektor moneter, dapat diwujudkan. Peran LKM syariah diharapkan sudah sedemikian dominan sebagai soko guru perekonomian nasional. Wallahu alam. 


BAB II PEMBAHASAN 

2.1 Definisi Lembaga Keuangan Mikro Islam
Microfinance merupakan pembiayaan dengan skala mikro. Makna mikro dalam dalam konteks ini berkaitan dengan nilai transaksi dan kapasitas keuangan nasabah yang umumnya masuk ke dalam kategori miskin seperti yang dirumuskan oleh UNCDF, CGAPdan ADB “microfinance refers to loans, savings, insurance, transfer services and other financial products targeted at low-income clients”. Sedangkan difinisi yang lebih rinci dirumuskan oleh Marguerite Robinson dalam bukunya yang cukup fenomenal The Microfinance Revolution Volume I & II yakni “microfinance is small-scale financial services provided to people who farm or fish or herd; who operate small or microenterprises where goods are produced, recycled, repaired, or traded; who provide services; who work for wages or commissions; who gain income from renting out small amounts of land, vehicles, draft animals, or machinery and tools; and to other individuals and groups at the local levels of developing countries, both rural and urban”. 
Dari berbagai pengertian tersebut di atas bahwa microfinance mengandung tiga elemen utama yang membedakannya dengan sistem intermediasi keuangan lainnya seperti perbankan yaitu: 
1. Batasan transaksi
Nilai transaksi microfinance tidak bersifat universal artinya tidak ada konvensi internasional yang menetapkan nilai transaksi yang masuk kategori kecil atau mikro. Di Indonesia, nilai transaksi microfinance hanya dirumuskan pada batasan kredit mikro saja yakni maksimum Rp50 juta. Sedangkan untuk transaksi keuangan lainnya seperti simpanan, asuransi,remittance, sistem pembayaran tidak ada pengaturan yang jelas. 2. Segment Pasar 
Microfinance memiliki keunikan dalam melayani masyarakat yakni terfokus pada masyarakat miskin yang terbagi menjadi empat kelompok: 
• Kelompok I yakni the poorest of the poor. Penduduk miskin yang tidak memiliki sumber pendapatan karena faktor usia, sakit, cacat fisik sehingga tidak memiliki pendapatan. 
• Kelompok II yaitu labouring poor. Kelompok miskin yang bekerja sebagai buruh dengan penghasilan sangat terbatas dan bersifat tidak tetap atau musiman yang umumnya bekerja di sektor pertanian atau sektor-sektor lain yang bersifat padat karya. 
• Kelompok III adalah self-employed poor. Merupakan penduduk miskin yang berpenghasilan relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dengan bekerja di sektor informal. 
• Kelompok IV ialah enconomically active poor. Golongan yang telah memiliki kekuatan ekonomi dengan sumber pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dan memiliki surplus income. 
3. Tujuan 
State of practice microfinance sekarang tidak terlepas dari sejarah kelahirannya yaitu untuk menanggulangi masalah-masalah yang berkaitan dengan kemiskinan. Selanjutnya pengembangan microfinance menjadi salah satu agenda untuk mencapai The Millennium Development Goals untuk mengurangi jumlah penduduk dunia menjadi separuhnya pada tahun 2015. 
Hal ini kemudian diperkuat dengan Resolusi PBB No.A/58/488 tentang the International Year of Microcredit 2005 yang mendorong microfinance sebagai sektor keuangan yang inklusif. 
2.2 Mengapa Micro Finance ? 
Ketersediaan sumber daya finansial yang cukup pada saat yang tepat merupakan salah satu faktor penting bagi individu atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi kondisi ideal tersebut hampir tidak mungkin terjadi pada masyarakat miskin karena terbatasnya resource sehingga memerlukan adanya intervensi keuangan untuk menutupgap yang ada. Ada lima pola intervensi microfinance, misalnya dalam pembiyaan yakni: 
1. Income smoothing Menutup kebutuhan keuangan karena adanya gap antara pendapatan dan pengeluaran karena faktor musim atau siklus upahan. Umumnya petani membutuhkan dana pada masa tanam untuk membeli sarana produksi dan memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga. Hal yang sama juga terjadi pada para pekerja atau buruh yang menerima upah secara berkala. 
2. Cash flow injection Mengatasi aliran kas (terjadi kesenjangan antara aktiva lancar dan pasiva lancar) yang terutama bagi usaha mikro yang menerapkan sistem pembayaran kredit atau karena ada kebutuhan strategis misalnya untuk memenuhi kontrak bisnis yang bersifat sesaat. 
3. Emergency relief Merupakan asistensi keuangan untuk mengatasi kebutuhan mendadak karena adanya musibah keluarga, sakit dan bencana alam, kehilangan pekerjaan, biaya pendidikan dan kebutuhan jangka pendek lainnya karena umumnya masyarakat miskin tidak memiliki tabungan atau asuransi. 
4. Asset building Menyediakan dana yang bersifat jangka panjang untuk membeli aktiva tetap (peralatan rumah tangga), kendaraan, hewan ternak, properti , dan lain-lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi atau dapat dikonversikan kembali menjadi uang. 
Secara empiris, efektivitas dari intervensi microfinance memberikandampak yang positif terhadap rumah tangga. Secara umum mekanisme dampak tersebut dapat dijelaskan dan digambarkan sebagai berikut: 
• Pertama, akses keuangan yang berkelanjutan merupakan faktor produksi penting dalam kegiatan ekonomi masyarakat miskin yang dalam hal ini menghasilkan double impact yaitu pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Adanya pendapatan yang stabil akan mempermudah untuk mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari, pakaian, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan tempat tinggal yang layak, kendaraan, barang berharga, dan sebagainya. Dalam jangka panjang, akan mendorong terbentuknya rumah tangga yang mandiri dan sejahtera. • Kedua, adanya jaminan pembiayaan mendorong pengusaha mikro mengambil keputusan bisnis jangka panjang dan melakukan investasi yang menguntungkan.Kehadiran lembaga microfinance akan meningkatkan awareness dan mendorong masyarakat miskin menggunakan instrumen moneter seperti tabungan, sistem pembayaran, transfer uang dan asuransi sehingga meningkatkan likuiditas dan dinamika ekonomi lokal. 
• Ketiga, efektivitas intervensi microfinance yang dijelaskan sebelumnya telah mendorong berbagai inisiatif mengembangkan produk dan jasa keuangan lainnya untuk melayani masyarakat miskin, antara lain housing microfinance. 

2.3 Lembaga Micro Finance 
Lembaga yang mengelola program microfinance dapat bersifat formal, semi formal dan informal. Sedangkan mekanisme intermediasi microfinance dikelompokkan menjadi dua pendekatan yakni : 
1) Minimalist yang mengadopsi sistem perbankan dan, 
2) Integrated menggunakan kombinasi antara intermediasi keuangan dan intermediasi sosial dalam rangka pemberdayaan masyarakat. 
Eksistensi microfinance di lingkungan masyarakat miskin cukup mengakar yang tercermin dari banyaknya jumlah nasabah dan cakupan jaringan kerja. Data yang dihimpun dari berbagai sumber memperlihatkan bahwa jaringanmicrofinance telah mencapai 55 ribu kantor yang menyalurkan pinjaman sebanyak Rp28 triliun kepada sekitar 35 juta nasabah serta berhasil menghimpun dana sebesar Rp38 triliun yang tercatat dalam 36 juta rekening. 
Struktur Micro Finance di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : 
1. Kelompok formal microfinance : lembaga keuangan yang diatur oleh UU Perbankan, meliputi bank umum yang memiliki unit bisnis microfinance dan BPR. Saat ini ada tiga bank umum yang secara khusus memiliki eksposur di microfinance yakni BRI-Unit dengan sistem BRI-Unit, Bank Danamon yang mengembangkan Danamon Simpan Pinjam (DSP) dan Bank Mandiri melalui Microbanking Unit. Namun demikian, ada beberapa bank yang juga melayani pasar microfinance secara tidak langsung, misalnya melalui linkage programdengan BPR atau LKM. Lembaga formal microfinance melayani masyarakat miskin yang masuk dalam kelompok III dan IV dengan menawarkan produk dan jasa perbankan seperti kredit untuk berbagai keperluan, simpanan dalam bentuk giro, deposito dan tabungan, transfer uang, sistem pembayaran dan jasa keuangan lainnya. Namun untuk BPR diberlakukan batasan operasi antara lain tidak diperkenankan melayani produk giro karena tidak termasuk dalam sistem kliring perbankan dan melakukan transaksi valuta asing. Prinsip operasional dan pola interaksi dengan nasabah yang digunakan oleh kelompok ini cenderung bersifat formal dengan menerapkan prinsip-prinsip perbankan umum sehingga daya penetrasinya hanya terbatas pada nasabah yang bankable. 
2. Semiformal microfinance : adalah lembaga keuangan yang diatur oleh pemerintah melalui PP atau Perda. Bentuk dan sistem operasional kelompok ini cukup bervariasi seperti Perum Pegadaian, Badan Kredit Desa (BKD), Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dengan konsep koperasi, Lembaga Dana Dan Kredit Pedesaan (LDKP), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK) dan Baitul Maal Wa’atamwil (BMT) dan LKM yang terdaftar lainnya. Pasar utama semiformal microfinance adalah penduduk miskin dengan kategori kelompok II dan III serta sebagian kecil yang masuk dalam kelompok IV. Produk keuangan yang ditawarkan adalah kredit dan simpanan yang berbasis pada keanggotaan, namun khusus Pegadaian menawarkan pinjaman dengan sistem gadai. Sesuai dengan penggolongannya, sebagian besar platform operasional lembaga ini bersifat semiformal, artinya mengadopsi kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh pemerintah, namun dalam membangun hubungan dengan nasabah atau anggotanya cenderung menggunakan cara-cara yang bersifat informal. 
3. Informal microfinance : berbagai macam bentuk kelembagaan dan kepemilikan dan metode yang digunakan. Hal ini dimungkinkan karena tidak ada regulasi khusus yang mengaturnya, mencakup Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), kelompok arisan. Keunikan dari informal microfinance adalah menyediakan fasilitas kredit (cash atau non cash) yang didasarkan pada hubungan individu, kelompok dan jalinan bisnis. Untuk lembaga microfinance yang berbentuk LSM, pemberiaan kredit juga diikuti dengan program pemberdayaan dan asistensi non keuangan lainnya.   


BAB III PENUTUP 


3.1 Kesimpulan
Jumlah usaha mikro di tanah air mencapai angka 44,6 juta usaha (91,26 persen), jauh melebihi usaha besar yang hanya berjumlah 7 ribuan usaha (0,01 persen).Meski proporsi usaha mikro mendominasi struktur perekonomian nasional, kesempatan atau akses mereka terhadap sumber pembiayaan yang berasal dari institusi perbankan dan keuangan formal masih sangat terbatas. Mereka dianggap sebagai kelompok yang tidak bankable, sehingga dianggap tidak layak menerima kucuran kredit. Karena itu, dengan kondisi seperti ini, mendorong perkembangan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) telah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak, sebagai upaya untuk memperbesar akses finansial bagi kelompok masyarakat marjinal tersebut. Apalagi secara konsep, ekonomi syariah memiliki keberpihakan yang sangat nyata terhadap pengembangan usaha mikro yang dimiliki oleh masyarakat. 
Dalam QS 28 : 5 sebagai contoh, Allah SWT telah mengingatkan bahwa kelompok masyarakat yang dianggap lemah sekali pun, sesungguhnya memiliki potensi besar dan bisa menjadi sumber kekuatan apabila diberdayakan secara efektif. Menganggap remeh dan mengkhianati mereka justru akan menghilangkan potensi kekuatan yang dimiliki oleh suatu bangsa. Bahkan berdasarkan hadits di atas, pembelaan dan keberpihakan terhadap kaum dhuafa merupakan kunci bagi turunnya pertolongan dan rezeki dari Allah SWT. Artinya, ada korelasi yang kuat antara tingkat kesejahteraan masyarakat dengan desain kebijakan ekonomi yang pro masyarakat miskin. 
Pertama, melalui koperasi syariah/Baytul Maal wat Tamwil (BMT). Tidak dapat dipungkiri bahwa peran institusi ini sangat signifikan sebagai ujung tombak pemberdayaan usaha mikro masyarakat. Pertumbuhannya pun sangat luar biasa, terutama dalam dua dekade terakhir. Bahkan beberapa BMT, menurut catatan Jaenal Effendi (2010), memiliki aset hingga puluhan dan ratusan milyar rupiah. 
Kedua, lembaga zakat, infak, shadaqah dan wakaf (ZISWAF). Jika diperhatikan, proporsi pembiayaan usaha mikro mustahik dalam bentuk program ekonomi yang telah disalurkan oleh BAZ dan LAZ yang terakreditasi, rata-rata mencapai angka 30-40%dari total distribusi dana. Sisanya digunakan untuk program kesehatan, pendidikan, dakwah dan kemanusiaan. 
Sedangkan yang ketiga, melalui institusi perbankan syariah, yaitu via BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syariah) dan via unit/divisi mikro dari BUS (Bank Umum Syariah)/UUS (Unit Usaha Syariah). Berdasarkan data yang ada, proporsi pembiayaan BPRS bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) mencapai angka 84,8 persen, sementara proporsi pembiayaan UMKM BUS/UUS mencapai angka sekitar 64 persen. Dengan kondisi seperti ini, pantaslah jika lembaga internasional seperti IRTI-IDB (2007) mengklasifikasikan Indonesia sebagai salah satu referensi utama pengembangan Islamic microfinance dunia. Tinggal bagaimana sekarang, pemerintah dan DPR, bersama-sama dengan para stakeholders ekonomi dan keuangan syariah lainnya, mengembangkan lebih dalam berbagai kebijakan yang lebih pro terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dhuafa, termasuk memperkuat linkage antar institusi keuangan syariah yang ada. Kita berharap, pembahasan RUU LKM (Lembaga Keuangan Mikro) di DPR saat ini, dapat menjadi momentum penguatan peran LKM syariah dalam perekonomian nasional.  


DAFTAR PUSTAKA 

Antonio, M. Syaf’i. 2001. Bank Syariah : Dari Teori Ke Praktek. Jakarta : Gema Insani Press. http://mikrobanker.wordpress.com/2009/01/11/apa-mengapa-dan-siapa-microfinance/ http://www.ekonomirakyat.org/edisi_22/artikel_5.htm

Read More..