BAB I PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Islam adalah agama yang komprehensif karena tidak hanya berkaitan dengan masalah ibadah tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan sosial (muamalah). Muamalah diturunkan sebagai aturan main manusia dalam kehidupannya sehingga setiap perbuatan manusia baik dalam hal kepentingan pribadi maupun sosial harus sesuai dengan syariah islam. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah beserta para sahabatnya. Dalam muamalah ini pun tidak ada perbedaan antara muslim dan non muslim. Hal ini tersirat dari ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali “Dalam bidang muamalah, kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita.”
Islam memiliki kekuatan hukum, peraturan, tata krama, dan tingkah laku. Oleh karena itu sangat tidak adil jika petunjuk kehidupan yang lengkap ini dipisahkan antara bagian yang satu dengan yang lainnya. Untuk itu Allah berfirman : 

 “Apakah kamu beriman dengan sebagian kitab dan menolak yang lainnya? Tetapi pahala orang-orang di antara kamu yang baik kecuali kesombongan dan pada hari kiamat mereka mendapatkan hukuman, karena Allah tidak lalai terhadap apa yang kamu kerjakan.” 

Ekonomi adalah bagian penting dalam kehidupan manusia di segala bidang. Kegiatan ekonomi tidak lepas dari proses produksi, konsumsi, maupun distribusi. Dari ketiganya Produksi mempunyi peranan penting dalam peekonomian karena produksi menentukan kemakmuran suatu bangsa dan taraf hidup manusia. Al Qur’an telah meletakkan landasan yang jelas tentang produksi. Salah satu diantaranya adalah diperintahkannya bekerja keras dalam mencari kehidupan agar tidak mengalami kegagalan atau tertinggal dalam berjuag demi kelangsungan hidupnya. Allah telah menganugerahkan alam semesta untuk kesejahteraan manusia. Sebagai khalifah di bumi manusia diberikan kebebasan dalam mengelola kekayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. 
Aktivitas kerja manusia dalam melakukan produksi yang merupakan dasar berjalannya roda perekonomian. Dengan melakukan produksi sendi perekonomian akan tetap berjalan yaitu tetap ada mata pencaharian yang beruntut pada sektor distribusi dan konsumsi dalam Ekonomi. Sehingga kebutuhan dari manusia akan tetap berjalan dengan terpenuhinya kebutuhan primer yaitu melakukan konsumsi barang. 
Namun, sebagai seorang muslim tentunya hal tersebut harus sejalan dengan aturan islam. Aturan ekonomi islam yang komprehensif berbeda dengan aturan lainnya. Islam tidak pernah memperbolehkan umatnya menjadi budak nafsu dan ambisi sehingga pemenuhan kebutuhan tidak hanya bersifat materi secara fisik tetapi juga kebutuhan spiritual. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas produksi dalam perspektif islam. 

1.2 Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini, penulis akan menmbahas beberapa masalah yaitu : 
1. Bagaimana sistem produksi dalam pandangan islam? 
2. Bagaimana pemikiran cendekiawan muslim tentang produksi? 

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas fundamental ekonomi islam dan untuk mengetahui serta memahami lebih mendalam tentang sistem produksi dalam islam.   


BAB II PEMBAHASAN 


2.1 Definisi Produksi 
Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Dalam istilah ekonomi produksi merupakan suatu proses (siklus) kegiatan-kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan memanfaatkan faktor-faktor produksi (tanah, modal, tenaga kerja). Kegiatan menambah daya guna suatu benda tanpa mengubah bentuknya dinamakan produksi jasa. Sedangkan kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan bentuknya dinamakan produksi barang. 
Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan pendapat bahwa kata “produksi” dalam bahasa Arab sama dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir al-intaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas). Pandangan Rawwas di atas mewakili beberapa definisi yang ditawarkan oleh pemikir ekonomi lainnya. Hal senada juga diutarakan oleh Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam bukunya Muqaddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad al-Islamiy. Abdurrahman lebih jauh menjelaskan bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut. Produksi dalam pandangannya harus mengacu pada nilai utility dan masih dalam bingkai nilai ‘halal’ serta tidak membahayakan bagi diri seseorang ataupun sekelompok masyarakat. Dalam hal ini, Abdurrahman merefleksi pemikirannya dengan mengacu pada QS. Al-Baqarah [2]: 219 yang menjelaskan tentang pertanyaan dari manfaat memproduksi khamr. Lain halnya dengan Taqiyuddin an-Nabhani, dalam mengantarkan pemahaman tentang ‘produksi’, ia lebih suka memakai kata istishna’ untuk mengartikan ‘produksi’ dalam bahasa Arab. An-Nabhani dalam bukunya an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam memahami produksi itu sebagai sesuatu yang mubah dan jelas berdasarkan as-Sunnah. Sebab, Rasulullah Saw pernah membuat cincin. Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan “Nabi Saw telah membuat cincin.” (HR. Imam Bukhari). Dari Ibnu Mas’ud: “Bahwa Nabi Saw. telah membuat cincin yang terbuat dari emas.” (HR. Imam Bukhari). Beliau juga pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata: “Rasulullah Saw telah mengutus kepada seorang wanita, (kata beliau): Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk di atasnya.” (HR. Imam Bukhari). Pada masa Rasulullah, orang-orang biasa memproduksi barang, dan beliau pun mendiamkan aktifitas mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukkan adanya pengakuan (taqrir) beliau terhadap aktifitas berproduksi mereka. Status (taqrir) dan perbuatan Rasul itu sama dengan sabda beliau, artinya sama merupakan dalil syara’. 

2.2 Motif Produksi 
Produksi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mencapai kemakmuran. Kemakmuran dapat tercapai jika tersedia barang dan jasa dalam jumlah yang mencukupi. Akan tetapi ilmu ekonomi konvensional selalu mengusung maksimalisasi kepuasan dan keuntungan sebagi motif utama. Motif maksimalisasi kepuasan dan keuntungan menjadi pendorong sekaligus tujuan dalam pandangan ekonomi konvensional bukannya salah atau pun dilarang dalam islam. Islam menempatkannya pada posisi yang benar yaitu semua itu dalam rangka maksimalisasi kepuasan dan keuntungan di akhirat. 
Konsep ekonomi konvensional tentang pencapaian kepuasan dan keuntungan adalah suatu yang abstrak. Secara teoritis memang dapat dihitung pada keadaan bagaimana keuntungan maksimal tercapai. Namun ketika pada prakteknya, tak seorang pun yang mengetahui apakah dalam kondisi tertentu ia sedang, sudah, atau bahkan belum mencapai keuntungan maksimum. Implikasinya konsep ini hanya bisa dijadikan acuan teknis tetapi tidak dapat menjadi patokan perilaku. 
Upaya memaksimalkan keuntungan menjadikan ekonomi konvensional mendewakan produktivitas dan efisiensi ketika berproduksi. Mereka mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan dari suatu proses produksi yang justru menimpa masyarakat yang tidak ada hubungannya dengan produk yang dibuat, baik sebagai konsumen maupun sebagai bagian dari faktor produksi. Contohnya pencemaran yang dilakukan pabrik kertas maka kelompok yang paling menderita akibat pencemaran tersebut adalah masyarakat sekitar pabrik yang tidak mendapat manfaat langsung dari proses produksi tersebut. Selain itu, ekonomi konvensional melupakan kemana produknya mengalir asalkan efisiensi ekonomi tercapai dengan keuntungan yang memadai. Mereka puas dengan hal itu walaupun produknya hanya dikonsumsi oleh sebagian kecil kelompok masyarakat. 

2.3 Produksi Dalam Pandangan Islam
Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah., maka konsep produksi di dalam ekonomi islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat.Surat al-Qashash ayat 77 mengingatkan manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia. Urusan dunia hanya sebagai sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat. 
Islam menjelaskan nilai-nilai moral di samping utilitas ekonomi. Bahkan sebelum itu, islam pun menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan Menurut ajaran islam, manusia adalah khalifatullah dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah kepada-Nya. Dalam Qur’an surat Al-An’am ayat 165 Allah berfirman: 

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dsn sesungguhya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

Islam secara khas menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin dalam Qur’an Surat Al-Hadid ayat 7 

“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu mengausainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” 

Hal ini memang karena dalam sebagian harta kita terdapat hak orang lain. Kegiatan produksi harus surplus untuk mencukupi keperluan konsumtif dan meraih keuntungan finansial, sehingga bisa berkontribusi pada kehidupan sosial. Lalu, kegiatan produksi pun harus mengupayakan pemanfaatan sumber daya secara penuh dan harus memastikan bahwa barang yang diproduksi halal dan bermanfaat bagi masyarakat. “Pribadi dan masyarakat muslim itu produktif dan kontributif bagi kesejahteraan dan keadaan manusia bahkan tidak ada ajaran selain islam yang menguduskan kerja produksi seperti ini”, kata Al-Qardhawi. 
Dalam islam, produksi yang surplus dan berkembang baik secara kuantitatif dan kualitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan masyarakat.. Produk melimpah tidak akan ada artinya apabila hanya bisa didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak. Allah menyediakan bumi beserta isinya bagi manusia sebagai modal dasar produksi yang dapat diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh umat manusia. Hal ini tercantum dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 22 

“Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” 

2.4 Prinsip-Prinsip Produksi Dalam Islam
Prinsip fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Keunikan konsep islam mengenai kesejahteraan ekonomi terletak pada kenyataan bahwa kesejahteraan ekonomi tidak dapat mengabaikan pertimbangan kesejahteraan umum lebih luas yang menyangkut persoalan-persoalan tentang moral, pendidikan, dan agama. Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan ekonomi diukur dari segi uang. Seperti kata Profesor Pigou: “Kesejahteraan ekonomi kira-kira dapat didefinisikan sebagai bagian kesejahteraan yang dapat dikaitkan dengan alat pengukur uang.” Karena kesejahteraan ekonomi modern bersifat materialistis. 
Menurut Mannan, konsep kesejahteraan ekonomi islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari hanya barang-barang yang berfaedah melalui pemanfaatan sumber-sumber daya secara maksimum baik manusia maupun benda serta jumlah maksimum orang dalam proses produksi. Dalam sebuah negara islam kenaikan volume produksi saja tidak akan menjamin kesejahteraan rakyat secara maksimum. Mutu barang-barang yang diproduksi yang tunduk pada perintah Al-Qur’an dan sunnah juga harus diperhitungkan dalam menentukan sifat kesejahteraan ekonomi. 
Demikian pula kita harus memperhitungkan akibat-akibat tidak menguntungkan yang akan terjadi dalam hubungannya dengan perkembangan ekonomi bahan-bahan makanan dan minuman terlarang. Ringakasnya, sistem produksi dalam suatu negara islam harus dikendalikan oleh kriteria objektif maupun subjektif, kriteria objektif akan tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi uang dan kriteria subjektifnya dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah. 
Al-qur’an dan Hadis Rasulullah SAW, memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut: 
1. Tugas Manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. 2. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Namun, Islam tidak membenarkan karya ilmu pengetahuan yang terlepas dari Al-Qur’an dan Sunnah. 
3. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia. Rasulullah bersabda, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” 
4. Pada prinsipnya islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. 
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah: 
1. Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi 
2. Mencegah kerusakan di bumi, termasuk membatasi polusi atau pencemaran, memelihara keserasian dan ketersediaan sumber daya. 
3. Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuha individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang haus dipenuhi terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk kemakmuran material. 
4. Produksi dalam islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian umat demi terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material. 
5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik. Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran rohaniah, lalu kualitas mental terkait dengan etos kerja, intelektual, dan kreatifitasnya sedangkan kualitas fisik mencakup kekuatan fisik, kesehatan, dan efisiensi. 
Dalam islam menurut Muhammad Abdul Mannan (1992) perilaku produksi tidak hanya menyandarkan pada kondisi permintaan pasar melainkan juga berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Pendapat ini didukung oleh M.M Metwally yang menyatakan bahwa fungsi kepuasan perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh variable tingkat keuntungan tetap juga oleh variabel pengeluaran yang bersifat charity. Fungsi utilitas pengusaha muslim adalah sebagai berikut : 
               Umax = U (F,G) 
Dimana : F= tingkat keuntungan
              G= tingkat pengeluaran untuk charity

Pengeluaran perusahaan untuk charity akan meningkatkan produk perusahaan karena G menghasilkan efek pengganda (multiplier effects) terhadap kenaikan kemampuan beli masyarakat yang akan berdampak pada meningkatnya permintaan terhadap produk perusahaan. 

2.5 Faktor produksi 
Terdapat perbedaan pendapat dari para ulama tentang faktor produksi. Menurut Al-Maududi dan Abu Su’ud faktor produksi terdiri atas amal/kerja (labor), tanah (land), dan modal (capital). Hal ini berbeda dengan M.A Mannan yang menyatakan bahwa faktor produksi tidak hanya itu ia menambahkan organisasi sebagai faktor produksi. Namun, menurut An-Najjar, faktor produksi hanya terdiri dari dua elemen yaitu amal (labor) dan modal (capital). An-Najjar berpendapat bahwa bumi atau tanah (land) merupakan bagian dari capital, sedangkan manajemen merupakan manifestasi pekerjaan. Abu Sulaiman menyatakan bahwa amal bukanlah merupakan faktor produksi. Pemikiran tersebut muncul berdasarkan atas falsafah kapitalisme yang menganggap produksi merupakan tujuan akhir kegiatan ekonomi. Menurutnya, faktor produksi hanya terdiri dari capital dan land. Dalam syariah islam, dasar hukum transaksi (muamalah) adalah ibahah (diperbolehkan) sepanjang tidak ditemukannya larangan dalam nash atau dalil. Maka tidak ada salahnya apabila terjadi capital dijadikan sebagai faktor atau elemen penunjang dalam kegiatan produksi. Faktor- faktor produksi yaitu: 

 a. Tanah 
Tanah mengandung pengertian yang luas mencakup semua sumber yang kita dapatkan dari udara, laut, gunung, sampai dengan keadaan geografi, angin, dan iklim terkandung dalam tanah, Baik Al-Qur’an maupun Sunnah banyak memberikan tekanan pada pembudidayaan tanah secara baik. Dengan demikian Al-Qur’an menaruh perhatian akan perlunya mengubah tanah kosong menjadi kebun-kebun dengan mengadakan pengaturan pengairan dan menanaminya dengan tanaman yang baik. Dalam Al-Qur’an dikatakan: 

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami menghalau hujan ke Bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan tanam-tanaman yang daripadanya dapat makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri….” (Qur’an Surat As-Sajadah:27)

Kita mempunyai bukti untuk menunjukkan bahwa telah diberikan dorongan untuk membudidayakan tanah kosong. Hal itu bersumber pada Aisyah yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah berkata: “Siapa saja yang menanami tanah yang tiada pemiliknya akan lebih berhak atasnya” (Bukahari). 

b. Tenaga kerja 
Bekerja merupakan pondasi dasar dalam produksi sekaligus berfungsi sebagai pintu pembuka rezeki. Menurut Ibnu Khaldun, bekerja merupakan unsur yang paling dominan bagi proses produksi dan merupakan sebuah ukuran standar dalam sebuah nilai. Proses produksi akan sangat bergantung terhadap usaha atau kerja yang dilakukan oleh para karyawan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Selain itu adanya profesionalisme dalam bekerja akan meningkatkan nilai atas hasil produksi. 
Rasulullah Saw bersabda, “Bekerja merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” Menurut Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dalam kitab al-Iktisab fi ar-Rizq al-Mustathab, “Barang siapa terlelap tidur karena kelelahan mencari rezeki yang halal, maka orang tersebut tidur dalam ampunan Allah.” 
Allah SWT berfirman, 

“Dia-lah Allah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali) setelah dibangkitkan.” (Qur’an Surat Al-Mulk: 15) 

Dalam islam tenaga kerja bukan hanya suatu jumlah usaha atau jasa yang abstrak yang ditawarkan untuk diual pada pencari tenaga manusia. Mereka yang memperkerjakan buruh mempunyai tanggung jawab moral dan sosial. Seorang pekerja modern memiliki tenaga yang berhak dijualnya dengan harga tinggi, tetapi dalam islam ia tidak mutlak bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu. Ia tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak diizinkan syariat. 

c. Modal 
Dalam pandangan ekonomi, capital adalah bagian dari harta kekayaan yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, seperti mesin, alat produksi, equipment, gedung, dan lain-lain. Dalam operasionalnya capital, mempunyai kontribusi yang cukup berarti bagi terciptanya barang dan jasa. Sebagai konsekuensi, capital berhak mendapatkan kompensasi atas yang telah diberikan. Dalam kapitalisme, capital berhak mendapatkan bunga sebagai kompensasi pinjaman (return of loans). 
Pada sistem ekonomi islam, kompensasi pinjaman yang diberikan dibedakan berdasarkan atas jenis komoditas yang dipinjamkan. Apabila capital yang dinvestasikan berupa uang, maka konsep syariah yang bisa digunakan adalah bagi hasil (profit loss sharing). Namun jika yang dinvestasikan berupa mesin dan peralatan lainnya, maka yang wajib dibayarkan adalah biaya sewa atas peralatan tersebut. 

d. Organisasi 
Organisasi dianggap sebagai faktor produksi yang memiliki peran penting. Hal ini karena suatu bisnis tidak mungkin dapat berdiri apabila tidak ada struktur oragnisasi yang jelas Dengan adanya struktur organisasi maka terdapat orang yang melakukan proses perencanaan, pengorganisasian, pengaktualisasian, dan proses evaluasi yang berpengaruh pada eksistensi suatu bisnis. Lebih dari itu organisasi dapat menerapkan nilai-nilai islam dalam bisnisnya. 

2.6 Teori Produksi Menurut Ibnu Khaldu
Bagi Ibn Khaldun, produksi adalah aktivitas manusia yang diorganisasikan secara sosial dan internasional. Manusia adalah binatang ekonomi. Tujuannya adalah produksi. Pada sisi lainnya, faktor produksi yang utama adalah tenaga kerja manusia. Karena itu, manusia harus melakukan produksi guna mencukupi kebutuhan hidupnya, dan produksi berasal dari tenaga manusia (Bandingkan dengan teori Adam Smith yang mengatakan bahwa sumber kemakmuran adalah kerja.). 
“Tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi laba dan modal. Jika [sumber produksi] adalah kerja, sedemikian rupa seperti misalnya [pekerjaan] kerajinan tangan, hal ini jelas. Jika sumber pendapatan adalah hewan, tanaman atau mineral, seperti kita lihat, tenaga manusia tetaplah penting. Tanpa [tenaga manusia], tidak ada hasil yang akan dicapai, dan tidak akan ada [hasil] yang berguna.”  
Namun demikian, manusia tidak dapat sendirian memproduksi cukup makanan untuk hidupnya. Jika ia ingin bertahan, ia harus mengorganisasikan tenaganya. Organisasi sosial dari tenaga kerja ini harus dilakukan melalui spesialisasi yang lebih tinggi dari pekerja. Hanya melalui spesialisasi dan pengulangan operasi-operasi sederhanalah orang menjadi terampil dan dapat memproduksi barang dan jasa yang bermutu baik dengan kecepatan yang baik (Bandingkan dengan teori Adam Smith yang menyatakan tentang spesialisasi kerja). “Setiap jenis keahlian tertentu membutuhkan orang yang bertugas atasnya dan terampil melakukannya. Semakin banyak ragam pembagian dari suatu keahlian, semakin banyak jumlah orang yang [harus] mempraktekkan keahlian itu. Kelompok tertentu [yang mempraktekkan keahlian itu] diwarnai olehnya. Seiring dengan berjalannya waktu, dan bertambahnya jenis-jenis profesi satu demi satu, para tukang menjadi berpengalaman dalam berbagai keahliannya dan terampil dalam pengetahuan tentangnya. Jangka waktu yang panjang dan pengulangan [pengalaman] yang mirip menambah kepada pembentukan keahlian tersebut dan menyebabkannya berakar dengan kuat”
Sebagaimana terdapat pembagian kerja di dalam negeri, terdapat pula pembagian kerja secara internasional. Pembagian kerja internasional ini tidak didasarkan kepada sumber daya alam dari negeri-negeri tersebut, tetapi didasarkan kepada keterampilan penduduknya, karena bagi Ibn Khaldun, tenaga kerja adalah faktor produksi yang paling penting. Karena itu, semakin banyak populasi yang aktif, semakin banyak produksinya. Sejumlah surplus barang dihasilkan dan dapat diekspor, dengan demikian meningkatkan kemakmuran kota tersebut. Pada lain pihak, semakin tinggi kemakmuran, semakin tinggi permintaan penduduk terhadap barang dan jasa. Hal ini menyebabkan naiknya harga-harga barang dan jasa tersebut, dan juga naiknya gaji yang dibayarkan kepada pekerja-pekerja terampil. 
Dengan demikian, Ibn Khaldun menguraikan suatu teori yang menunjukkan interaksi antara permintaan dan penawaran, permintaan menciptakan penawarannya sendiri yang pada gilirannya menciptakan permintaan yang bertambah. Bagi Ibn Khaldun, karena faktor produksi yang paling utama adalah tenaga kerja dan hambatan satu-satunya bagi pembangunan adalah kurangnya persediaan tenaga kerja yang terampil, proses kumulatif ini pada kenyataannya merupakan suatu teori ekonomi tentang pembangunan. Teori Ibn Khaldun merupakan embrio suatu teori perdagangan internasional, dengan analisis tentang syarat-syarat pertukaran antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin, tentang kecenderungan untuk mengekspor dan mengimpor, tentang pengaruh struktur ekonomi terhadap perkembangan, dan tentang pentingnya modal intelektual dalam proses pertumbuhan. 

2.6 Teori Produksi Menurut Muhammad Baqir Ash Shadr 
Dalam aktivitas produksi terdapat dua aspek yang mendasari terjadinya aktivitas produksi. Pertama adalah aspek obyektif atau aspek ilmiah yang berhubungan dengan sisi teknis dan ekonomis yang terdiri atas sarana-sarana yang digunakan, kekayaan alam yang diolah, dan kerja yang dicurahkan dalam aktivitas produksi. Aspek obyektif ini berusaha untuk menjawab masalah-masalah efisiensi teknis dan ekonomis yang berkenaan dengan tiga pertanyaan dasar yang terkenal dengan istilah The Three Fundamental Economic Problem yang meliputi Apa yang akan diproduksi? Bagaimana cara untuk berproduksi yang efisien? Dan untuk siapa produksi ini ditujukan? 
Kedua adalah aspek subjektif . Aspek subyektif yaitu aspek yang terdiri atas motif psikologis, tujuan yang hendak dicapailewat aktivitas produksi, dan evaluasi aktivitas produksi menurut berbagai konsepsi keadilan yang dianut. Sisi obyektif aktivitas produksi adalah subyek kajian ilmu ekonomi baik secara khusus maupun dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan lainnya guna menemukan hokum-hukum umum yang mengendalikan sarana-sarana produksi dan kekayaan alam supaya dalam satu kondisi manusia dapat menguasai hokum-hukum tersebut dan memanfaatkannya untuk mengorganisasi sisi obyektif produksi secara lebih baik dan lebih sukses. Selain itu, menurut Sadr sumber asli produksi dijabarkan dalam tiga kelompok yang terdiri atas alam, modal, dan kerja. Adapun sumber alam yang dipergunakan untuk aktivitas produksi Sadr membaginya kembali ke dalam tiga kelompok yaitu tanah, substansi-substansi primer, dan aliran air.

2.7. Strategi Pertumbuhan Produksi 
Dalam rangka mewujudkan pertumbuhan produksi, Sadr menawarkan dua strategi yaitu: 
1. Strategi doctrinal (intelektual) 
Strategi ini bertolak pada asumsi bahwa manusia termotivasi untuk bekerja keras di pandang sebagai ibadah jika dilaksanakan dengan pemahaman dan niat. Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW, mengangkat tangan seorang penjahit yang bekerja keras, lalu beliau SAW mencium tangan tersebut dan berkata, “Mencari (nafkah) yang halal adalah kewajiban bagi setiap orang beriman, laki-laki dan perempuan. Ia yang memakan apa yang dihasilkan dari kerja keras tangannya, akan menyeberangi shirath seperti kilat. Ia yang memakan apa yang ia dapatkan dari kerja keras tangannya, di hari kemudian Allah akan memandangnya (dengan pandangan) kemurahan hati dan tidak akan menghukumnya. Ia yang memakan apa yang ia dapatkan secara halal dari kerja keras tangannya, seluruh pintu surga akan terbuka baginya dan ia dapat memasuki dari pintu manapun. Membiarkan sumber-sumber menganggur, melakukan pengeluaran mubadzir ataupun produksi barang-barang haram adalah terlarang dalam ajaran islam. Pemikiran demikian merupakan landasan doctrinal dalam mewujudkan pertumbuhan produksi. 
2. Strategi Legislative (hukum) 
Untuk keberlangsungan strategi doctrinal di atas, maka diperlukan aturan hukum yang melengkapi strategi doctrinal tersebut. Beberapa strategi legislative atau aturan hukum yang ditawarkan antara lain sebagai berikut: 
a. Pengambilalihan tanah dari penguasaan pemiliknya jika ia mengabaikannya hingga tanah tersebut menjadi tanah mati dan tidak bisa lagi ditanami. 
b. Larangan terhadap hima. Hima adalah dimana seseorang menguasai suatu area terbuka berupa tanah mati melalui kekuatan, bukan melalui kerja dengan mengubah tanah tersebut menjadi bisa ditanami dan dimanfaatkan secara produktif. 
c. Larangan kegiatan transaksi yang tidak produktif, seperti membeli murah dan menjualnya dengan harga yang mahal tanpa bekerja. 
d. Pelarangan riba, ihtikar, pemusatan sirkulasi kekayaan, dan melakukan tindakan yang berlebihan atau mubadzir. 
e. Melakukan regulasi pasar dan mengontrol situasi pasar. 

2.8 Kebijakan Ekonomi Untuk Meningkatkan Produksi 
Sarana-sarana di atas adalah sumbangsih islam sebagai sebuah doktrin dala pertumbuhan produksi dan peningkatan kekayaan. Setelah memberikan sumbangsih tersebut, islam menyerahkan langkah-langkah selanjutnya kepada Negara dengan mengkaji berbagai situasi dan kondisi obyektif kehidupan ekonomi. Melakukan survei dan sensus tentang kekayaan alam, apa saja yang dimiliki Negara, lalu mengkaji secara komprehensif tenaga kerja dalam masyarakat serta berbagai kesulitan dan kehidupan yang mereka jalani. Berdasarkan semua itu, dalam batas-batas doctrinal diformulasikan kebijakan ekonomi yang mengarah kepada pertumbuhan produksi dan peningkatan kekayaan yang ikut andil dalam mempermudah serta mempernyaman kehidupan masyarakat. 
Atas dasar pemikiran ini Sadr, memahami hubungan antara agama dengan kebijakan ekonomi Negara adalah satu kesatuan yang utuh. Dalam hal ini Negara mematok jangka waktu tertentu seperti lima tahun untuk mencapai tujuan atau target tertentu. Kebijakan seperti ini bukan merupakan unsure pokok agama begitupun penentu serta formulasinya pun bukan merupakan tugas agama, melainkan hasil pembumian nilai-nilai syariah oleh pemerintah. 


BAB III KESIMPULAN 

Islam sebagai agama yang bersifat komprehensif mencakup segala bidang kehidupan manusia memiliki perspektif tersendiri mengenai konsep produksi. Islam sangat mendorong kegiatan produksi hal ini terbukti dari firman Allah SWT, 

Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah :22) 

Al-qur’an dan Hadis Rasulullah SAW, memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut: 
1. Tugas Manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. 2. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Namun, Islam tidak membenarkan karya ilmu pengetahuan yang terlepas dari Al-Qur’an dan Sunnah. 
3. Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia. Rasulullah bersabda, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” 
4. Pada prinsipnya islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. 
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah: 
1. Memproduksi barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi 
2. Mencegah kerusakan di bumi, termasuk membatasi polusi atau pencemaran, memelihara keserasian dan ketersediaan sumber daya. 
3. Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuha individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang haus dipenuhi terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk kemakmuran material. 
4. Produksi dalam islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian umat demi terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material. 
5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik. Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran rohaniah, lalu kualitas mental terkait dengan etos kerja, intelektual, dan kreatifitasnya sedangkan kualitas fisik mencakup kekuatan fisik, kesehatan, dan efisiensi. 


DAFTAR PUSTAKA 

http://id.wikipedia.org/wiki/Produksi 
http://ikhwan-kiri.blogspot.com/2010/10/pemikiran-ekonomi-ibn-khaldun.html 
http://zonaekis.com 
Marthon,Said Sa’ad.2007.Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global.Jakarta:Zikrul Hakim. Nasution,Mustafa Edwin.2006.Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam.Jakarta:Kencana. 
Saud, Mahmud Abu.1992.Garis-Garis Besar Ekonomi Islam.Jakarta:Gema Insani Press.

Share this article :

Ditulis Oleh : Bidadari kecil

Artikel Tinjauan Historis Teori Produksi Perspektif Islam ini diposting oleh Bidadari kecil pada hari Minggu, 21 April 2013. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.